Senin, 18 Januari 2010
Profil Bangka-Belitung
Wilayah Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 10450 sampai 10930 Bujur Timur dan 050 sampai 410 lintang selatan dengan batas batas wilayah sebelah barat dengan selat Bangka, sebelah timur dengan selat karimata, sebelah utara dengan laut Natuna dan disebelah selatan dengan laut jawa.
Wilayah provinsi Kep. Bangka Belitung terbagi menjadi wilayah Daratan dan Wilayah Lautan dengan Total wilayah mencapai 81,725,14 km. Luas daratan lebih kurang 16,424,14 Km atau 20,10 persen dari total wilayah dan luas laut kurang lebih 65,301 Km atau 79,9 persen dari total wilayah Prov. Kep Babel.
Wilayah Daratan terbagi dari 6 kabupaten dan 1 Kota yaitu Kab. Bangka dengan luas wilayah 2,950,68 Km, kab. Bangka Barat dengan luas 2,820,61 Km, kab. Bangka Tengah dengan luas 2,155,77 km, Kab. Bangka selatan dengan luas wilayah 3,607,08 km, kab. Belitung luas wilayah 2,506 km, belitung timur 2,506,91 km, dan Kota pangkalpinang dengan luas wilayah 89,40 km.
Kepulauan Bangka Belitung merupakan gugusan dua pulau yaitu pulau Bangka dan Pulau Belitung yang sekitarnya dikelilingi pulau - pulau kecil. Pulau - Pulau kecil yang mengitari pulau bangka antara lain Pulau Namgka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok , Gelasa , Panjang, dan Pulau Tujuh. sedangkan Pulau Belitung dikelilingi Pulau kecil Pulau - Pulau kecil antara lain Pulau Lima, Lengkuas, Selindung, Pelanduk, seliu, nadu, Mendanau, batu, dinding, Sumedang dan Pulau Kecil lainnya.
Sumber :
http://regionalinvestment.com/newsipid/id/displayprofil.php?ia=19
Sumber Gambar:
http://www.cps-sss.org/web/images/provinsi/kepulauan_bangka_belitung.png
Berlibur ke Belitung: Liburan yang Menyegarkan Pikiran
Pulau Belitung yang terletak di sebelah selatan pulau Sumatera jarang sekali bahkan hampir tidak pernah dikunjungi oleh turis asing. Meskipun menyimpan banyak pesona, pulau Belitung tetap kalah bersaing dengan tempat-tempat lain yang sudah lebih dahulu terkenal sebagai surga wisata. Padahal pulau yang dahulu terkenal sebagai penghasil timah ini sangat cocok bagi turis yang mendambakan ketenangan dalam berlibur. Tidak seperti pulau Bali atau Lombok, pantai-pantai di Belitung masih asli dan belum terjamah oleh tangan-tangan kekar pariwisata. Apabila Anda belum pernah merasakan keasliannya, buktikan saja sendiri, datanglah ke Belitung dan nikmati liburan yang berkesan.
Berlibur ke Belitung adalah agenda yang cocok bagi wisatawan berbudget rendah yang ingin mengunjungi tempat yang sepi dan tenang. Cara mencapainya pun sangat mudah. Ada dua alternatif transportasi: pesawat udara atau kapal cepat. Apabila Anda memilih pesawat, hanya dalam 45 menit Anda akan sampai ke pulau yang eksotis ini. Merpati Indonesia menjadwalkan dua kali penerbangan (dari dan ke) kota Tanjung Pandan (ibukota kabupaten Belitung) setiap hari. Namun, jika Anda seorang petualang sejati dan ingin merasakan pengalaman berlibur yang unik, cobalah naik kapal cepat. Kapal cepat membutuhkan waktu kurang lebih lima jam. Selama itu Anda bisa menikmati pemandangan laut lepas sambil berinteraksi dengan para penumpang kapal yang berasal dari bermacam-macam latar belakang.
Sesampainya di Belitung, Anda dapat memilih berbagai akomodasi yang benar-benar murah. Hotel Makmur di jalan Endek misalnya, menawarkan kamar yang sederhana namun cukup nyaman dengan harga 50 ribu rupiah per hari. Pilihan untuk tinggal di jalan Endek sangat tepat karena jalan ini terletak di pusat kota Tanjung Pandan sehingga akan memudahkan Anda untuk pergi kemana-mana. Selain itu di jalan ini terdapat banyak kedai masakan Cina yang selain enak juga membuat ketagihan.
Seperti telah disebutkan di atas, Belitung merupakan tujuan berlibur yang cocok bagi Anda yang menginginkan ketenangan. Hanya dalam tiga hari Anda dapat mengisi liburan Anda dengan berbagai kegiatan yang dapat menyegarkan pikiran Anda. Pada hari pertama Anda harus pergi ke pantai. Ada dua buah pantai yang terkenal indah di Belitung: pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi. Kedua pantai ini terletak berdekatan dan masih sangat asli keindahannya. Letaknya sekitar 27 km dari kota Tanjung Pandan dan cukup terisolir karena di sekitar pantai tersebut tidak terlalu banyak rumah penduduk. Anda pasti akan merasa bahwa kedua pantai itu adalah milik pribadi Anda. Anda dapat berenang dan mandi matahari sepuasnya tanpa harus terganggu oleh penjual souvenir atau penjaja makanan kecil. Pantai Tanjung Kelayang berpasir putih dan air lautnya benar-benar jernih. Di kejauhan Anda dapat melihat sebuah pulau yang disebut pulau Burung oleh masyarakat Belitung karena di pulau yang tak berpenghuni itu terdapat susunan batu-batu besar yang menyerupai kepala burung raksasa. Anda bisa menyewa kapal untuk pergi ke pulau tersebut jika Anda tertarik. Pantai Tanjung Tinggi tidak kalah menawan, di pinggir pantai terdapat banyak cottage yang berbentuk rumah panggung (rumah tradisional Belitung). Pada jaman dahulu para penduduk awal pulau Belitung menggunakan kolong rumah sebagai kandang hewan., seperti ayam atau babi.
Apabila Anda belum puas berenang di laut namun menginginkan suasana yang berbeda, pada hari kedua Anda dapat mencoba pengalaman lain yang akan membuat Anda semakin dekat ke alam. Jawabannya adalah “Kolam Renang Jerry” yang terletak di daerah Perawas. Jika Anda berpikir bahwa ini kolam renang biasa, Anda salah. Di sana Anda bisa berenang di sungai berair jernih yang terletak di tengah sebuah hutan kecil. Suasananya sejuk karena dikelilingi pohon-pohon besar. Pak Jerry, pemilik Kolam Renang Jerry adalah seorang pecinta alam, sungai kecil yang terdapat di belakang rumahnya dibuka untuk umum. Sambil berenang di sungai yang sangat efektif untuk merilekskan pikiran, Anda juga akan terhibur oleh suara kicauan burung-burung liar yang banyak terdapat di hutan sekelilingnya.
Pada hari terakhir Anda di Belitung, Anda dapat mengunjungi Tanjung Pendam. Wilayah kecil di pinggir pantai yang juga bernama sama ini dipenuhi oleh rumah-rumah tua peninggalan Belanda di jaman kolonial dulu. Anda akan merasa seperti mengunjungi sebuah kota tua. Selain itu di daerah Tanjung Pendam juga terdapat Museum Timah yang menunjukkan jejak-jejak sejarah para penambang timah di daerah Belitung pada awal abad-20. Setelah puas berkeliling Tanjung Pendam, jalan-jalanlah ke pasar tradisional Belitung yang dikenal dengan sebutan Pasar Ikan meskipun pasar ini tidak hanya menjual ikan namun juga barang-barang lainnya. Di pasar ini Anda dapat membeli berbagai macam makanan khas Belitung, seperti jungkong (semacam puding dengan saus santan yang diberi gula merah), rintak (kue kering berbentuk bunga dengan lima kelopak), dan juga Gangan (ikan dalam kuah kuning) yang harus dimakan dengan nasi.. Konon, apabila sudah mencicipi Gangan Anda pasti ingin terus kembali ke Belitung.
Pulau Belitung adalah pulau yang relatif sepi. Jadi dalam tiga hari saja sudah banyak yang dapat Anda kunjungi. Bagi Anda yang suka sesuatu yang hiruk-pikuk tentunya Anda akan merasa bosan, namun jika tujuan Anda untuk menenangkan pikiran maka jangan ragu-ragu untuk datang ke pulau ini. Lihatlah lebih dekat dan jelajahilah pulau timah ini. Anda akan merasakan pengalaman berlibur yang tak terlupakan.
Rosemary Kesauly
Mantan Staf Pemasaran Alam Bahasa Indonesia
Penulis adalah juara 1 lomba menulis novel remaja Gramedia Pustaka Utama, Februari 2005
Sumber :
http://bulletin.alambahasa.com/liburan-jalan-jalan/34/berlibur-ke-belitung-liburan-yang-menyegarkan-pikiran/
3 Mei 2008
Berlibur ke Belitung adalah agenda yang cocok bagi wisatawan berbudget rendah yang ingin mengunjungi tempat yang sepi dan tenang. Cara mencapainya pun sangat mudah. Ada dua alternatif transportasi: pesawat udara atau kapal cepat. Apabila Anda memilih pesawat, hanya dalam 45 menit Anda akan sampai ke pulau yang eksotis ini. Merpati Indonesia menjadwalkan dua kali penerbangan (dari dan ke) kota Tanjung Pandan (ibukota kabupaten Belitung) setiap hari. Namun, jika Anda seorang petualang sejati dan ingin merasakan pengalaman berlibur yang unik, cobalah naik kapal cepat. Kapal cepat membutuhkan waktu kurang lebih lima jam. Selama itu Anda bisa menikmati pemandangan laut lepas sambil berinteraksi dengan para penumpang kapal yang berasal dari bermacam-macam latar belakang.
Sesampainya di Belitung, Anda dapat memilih berbagai akomodasi yang benar-benar murah. Hotel Makmur di jalan Endek misalnya, menawarkan kamar yang sederhana namun cukup nyaman dengan harga 50 ribu rupiah per hari. Pilihan untuk tinggal di jalan Endek sangat tepat karena jalan ini terletak di pusat kota Tanjung Pandan sehingga akan memudahkan Anda untuk pergi kemana-mana. Selain itu di jalan ini terdapat banyak kedai masakan Cina yang selain enak juga membuat ketagihan.
Seperti telah disebutkan di atas, Belitung merupakan tujuan berlibur yang cocok bagi Anda yang menginginkan ketenangan. Hanya dalam tiga hari Anda dapat mengisi liburan Anda dengan berbagai kegiatan yang dapat menyegarkan pikiran Anda. Pada hari pertama Anda harus pergi ke pantai. Ada dua buah pantai yang terkenal indah di Belitung: pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi. Kedua pantai ini terletak berdekatan dan masih sangat asli keindahannya. Letaknya sekitar 27 km dari kota Tanjung Pandan dan cukup terisolir karena di sekitar pantai tersebut tidak terlalu banyak rumah penduduk. Anda pasti akan merasa bahwa kedua pantai itu adalah milik pribadi Anda. Anda dapat berenang dan mandi matahari sepuasnya tanpa harus terganggu oleh penjual souvenir atau penjaja makanan kecil. Pantai Tanjung Kelayang berpasir putih dan air lautnya benar-benar jernih. Di kejauhan Anda dapat melihat sebuah pulau yang disebut pulau Burung oleh masyarakat Belitung karena di pulau yang tak berpenghuni itu terdapat susunan batu-batu besar yang menyerupai kepala burung raksasa. Anda bisa menyewa kapal untuk pergi ke pulau tersebut jika Anda tertarik. Pantai Tanjung Tinggi tidak kalah menawan, di pinggir pantai terdapat banyak cottage yang berbentuk rumah panggung (rumah tradisional Belitung). Pada jaman dahulu para penduduk awal pulau Belitung menggunakan kolong rumah sebagai kandang hewan., seperti ayam atau babi.
Apabila Anda belum puas berenang di laut namun menginginkan suasana yang berbeda, pada hari kedua Anda dapat mencoba pengalaman lain yang akan membuat Anda semakin dekat ke alam. Jawabannya adalah “Kolam Renang Jerry” yang terletak di daerah Perawas. Jika Anda berpikir bahwa ini kolam renang biasa, Anda salah. Di sana Anda bisa berenang di sungai berair jernih yang terletak di tengah sebuah hutan kecil. Suasananya sejuk karena dikelilingi pohon-pohon besar. Pak Jerry, pemilik Kolam Renang Jerry adalah seorang pecinta alam, sungai kecil yang terdapat di belakang rumahnya dibuka untuk umum. Sambil berenang di sungai yang sangat efektif untuk merilekskan pikiran, Anda juga akan terhibur oleh suara kicauan burung-burung liar yang banyak terdapat di hutan sekelilingnya.
Pada hari terakhir Anda di Belitung, Anda dapat mengunjungi Tanjung Pendam. Wilayah kecil di pinggir pantai yang juga bernama sama ini dipenuhi oleh rumah-rumah tua peninggalan Belanda di jaman kolonial dulu. Anda akan merasa seperti mengunjungi sebuah kota tua. Selain itu di daerah Tanjung Pendam juga terdapat Museum Timah yang menunjukkan jejak-jejak sejarah para penambang timah di daerah Belitung pada awal abad-20. Setelah puas berkeliling Tanjung Pendam, jalan-jalanlah ke pasar tradisional Belitung yang dikenal dengan sebutan Pasar Ikan meskipun pasar ini tidak hanya menjual ikan namun juga barang-barang lainnya. Di pasar ini Anda dapat membeli berbagai macam makanan khas Belitung, seperti jungkong (semacam puding dengan saus santan yang diberi gula merah), rintak (kue kering berbentuk bunga dengan lima kelopak), dan juga Gangan (ikan dalam kuah kuning) yang harus dimakan dengan nasi.. Konon, apabila sudah mencicipi Gangan Anda pasti ingin terus kembali ke Belitung.
Pulau Belitung adalah pulau yang relatif sepi. Jadi dalam tiga hari saja sudah banyak yang dapat Anda kunjungi. Bagi Anda yang suka sesuatu yang hiruk-pikuk tentunya Anda akan merasa bosan, namun jika tujuan Anda untuk menenangkan pikiran maka jangan ragu-ragu untuk datang ke pulau ini. Lihatlah lebih dekat dan jelajahilah pulau timah ini. Anda akan merasakan pengalaman berlibur yang tak terlupakan.
Rosemary Kesauly
Mantan Staf Pemasaran Alam Bahasa Indonesia
Penulis adalah juara 1 lomba menulis novel remaja Gramedia Pustaka Utama, Februari 2005
Sumber :
http://bulletin.alambahasa.com/liburan-jalan-jalan/34/berlibur-ke-belitung-liburan-yang-menyegarkan-pikiran/
3 Mei 2008
Berwisata Ke Bangka Belitung
Selama ini Pulau Bangka terkenal sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia, dan sebagai pulau lada putih yang termashur hingga ke mancanegara. Menurut sejarahnya, nama Bangka berasal dari kata ”Wangka” yang berarti timah.
Kata wangka tertoreh pada prasasti Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan dekat Kota Kapur, Bangka Barat yang bertarikh 686 Masehi. Prasasti ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Timah ditemukan pertama kali di Pulau Bangka sekitar tahun 1709, oleh orang-orang Jahore, yang untuk pertama kali digali di daerah Sungai Olin, Kecamatan Toboali.
Pada abad VII, pulau Bangka mulai dikunjungi orang-orang Hindu dari Siantan, Jahore, Malaysia dan Mataram. Kehadiran para pendatang itu, kemudian disusul oleh bangsa Belanda Lalu Inggris dan Jepang saat Perang Dunia II berkecamuk.
Secara Geografis, sebelah utara Pulau Bangka berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah barat dengan Selat Bangka dan Selat Gaspar, sebelah Selatan Laut Jawa, sebelah timur dengan Laut Cina Selatan dan dua selat, yakni Selat Karimata dan Selat Gaspar. Secara astronomis, Pulau Bangka berada pada posisi 1′ 30” 3′ 7” Lintang Selatan dan 105′ 107′ Bujur Timur. Luas Pulau ini mencapai ± 11.615 km persegi, dengan kondisi topografi terdiri dari daratan rendah berbukit, rawa-rawa dengan hutan tropis, serta dikelilingi oleh pantai berpasir putih, pemandangan indah serta laut yang jernih.
BANGKA
Pulau Bangka berpenduduk ± 825.236 jiwa dengan kepadatan rata-rata 382.172 jiwa/km2, dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 0,22/tahun. Penduduk pulau ini beraneka ragam etnik dari seluruh Indonesia . Mata pencaharian penduduk, ± 66% masih tergandung pada lahan pertanian. Penduduk asli Pulau Bangka memiliki karakter tersendiri yang terbentuk dari pengaruh lingkaran agama dan budaya. Sebagian besar penduduk beragama Islam di samping Kristen, Hindu, Budha dan Kong Fhu Chu.
Di daerah ini banyak sekali tempat wisata yang bisa kita kunjungi, diantaranya adalah Pantai Matras, Pantai Tanjung Pesona. Di pantai tersebut, pengunjung akan menemukan pemandangan pasir putih nan halus bagai mutiara dan pemandangan alam yang mempesona. Hamparan pasir menyatu dengan bebatuan indah di sekitarnya. Panjang pantai ini mencapai 3 km dan lebar 20-30 m yang dilatarbelakangi pepohonan kelapa dan aliran sungai yang jernih dari daratan menuju laut.
Oleh karena keelokan pemandangan dan suasananya, pengunjung sering menyebut pantai ini sebagai “Pantai Surga”. Di antara pantai-pantai indah yang ada di Bangka Belitung, pantai ini merupakan yang paling banyak dikunjungi wisatawan, baik oleh masyarakat Bangka sendiri ataupun wisatawan luar daerah dan mancanegara.
Keistimewaan pantai ini adalah pasir putihnya yang halus, nyiur yang melambai-lambai, dan aliran sungai alami. Keistimewaan lain, lokasinya yang nyaman dan tenang akan memberikan keleluasaan kepada para pengunjung untuk menyantap makanan sambil bersandar di bebatuan alam dan menikmati keindahan suasana pantai.
Pantai indah ini terkenal dengan nama Pantai Matras karena terletak di desa Matras, Kelurahan Sinar Jaya, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka. Terletak di sebelah timur laut Pulau Bangka dan berjarak sekitar 40 km dari Pangkalpinang atau 7 km dari kota Sungailiat. Pengunjung disarankan menggunakan kendaraan sendiri atau taksi dari Sungailit atau Pangkalpinang menuju ke Pantai Matras. Perjalanan dari Pangkalpinang menuju ke lokasi kurang lebih membutuhkan waktu 1 jam dengan jalanan yang naik turun (bergelombang).
Di sekitar lokasi pantai terdapat beberapa hotel, penginapan, layanan tour/travel, dan tempat hiburan. Terdapat juga pusat-pusat penjualan souvenir dan makanan khas Bangka seperti Kemplang Panggang, Kerupuk Ikan, Keretek Ikan/Cumi, Rusip, Belacan/Trasi, Lada Bubuk, dan sebagainya.
BELITUNG
Meskipun dalam beberapa hal Belitung banyak persamaannya dengan Bangka, yaitu pantai indah, laut biru, pasir putih, dan terumbu karang, Belitung memiliki keunikan tersendiri. Pantai yang lebih spesifik dengan bebatuan yang seolah disusun oleh tangan manusia. Keindahan alam ditambah keanekaragaman flora dan fauna serta kekayaan tradisi dan budaya menjadikan geliat pariwisata Belitung sungguh mencengangkan.
Untuk kedepannya besar kemungkinan bahwa pariwisata Belitung merupakan pesaing tangguh bagi pariwisata Bangka, tempat ibu kota provinsi. Pulau mana yang akan unggul? Waktulah yang akan menjawab. Sengaja atau tidak, dengan trik dan kiat masing–masing, dua pulau dalam satu provinsi ini bersaing memperebutkan wisatawan, terutama wisatawan nusantara. Promosi pariwisata yang gencar dan menyeluruh dilakukan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) untuk menggaet wisatawan ke Babel, dianggap belum cukup.
Dua kabupaten ini melakukan promosi lagi sendiri–sendiri, mengisi segala ruang yang tidak terjamah oleh provinsi, seperti menerbitkan buku panduan, leaflet, CD, yang semuanya rancak. Persamaan lainnya ialah penghasil timah dan lada. Tetapi, kerusakan lingkungan sungai, kehancuran akibat tambang timah rakyat di Belitung tidak separah di Bangka.
Di Belitung juga ada bandara yang bisa didarati pesawat Boeing 737–400 atau sejenisnya. Saat ini Bandara Hanadjoeddin didarati dua penerbangan sehari, pagi hari oleh Sriwijaya Air dan Batavia Air. Frekuensi penerbangan sewaktu–waktu bisa ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan melalui laut, pelayaran kapal feri cepat (Jet Foil), Pangkal Pinang (Bangka)–Tanjung Pandan (Belitung) dua kali sehari dengan waktu tempuh sekitar lima jam. Tersedia pula pelayaran dengan kapal cepat angkutan sungai danau dan penyeberangan (ASDP), Belitung–Sunda Kelapa, Jakarta.
Jika di Bangka ada Pantai Tanjung Pesona yang menawan dengan Hotel Tanjung Pesona dan Pantai Parai Tenggiri Parai Beach Resort, di Belitung ada Bukit Berahu Cottages di pinggir pantai Desa Tanjung Binga lengkap dengan kolam renang dan lapangan golf sembilan hole. Di Pantai Tanjung Tinggi, Sijuk ada “Lor In Hotels dan Resorts”. Di Belitung ada pemandian alam “Tirta Merundang Indah” di Desa Air Seruk, Kecamatan Sijuk, 15 km dari Tanjung Pandan. Mudah dicapai dengan berbagai jenis kendaraan, sekitar 30 menit dari Kota Tanjung Pandan.
Keindahan alam juga tampak di Selat Nasik, kecamatan di Pulau Mendanau, sekitar dua jam pelayaran dari Tanjung Pandan ke arah barat. Di sana ada atraksi menarik “Nundak” ikan tenggiri, memancing ikan tenggiri sambil mendayung perahu. Perairan Selat Nasik, potensial budidaya rumput laut dan ikan kerapu. Karena itu, Kecamatan Selat Nasik ditetapkan sebagai etalase perikanan dan kelautan Kawasan Barat Indonesia oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Selat Nasik punya beberapa macam kesenian tradisional yang terus dilestarikan, musik stambul pajar, permainan lesong panjang dan begubang. Ada rumah tradisional dengan arsitektur yang usianya 100 tahun lebih.
Batu granit
Sedikitnya ada delapan pulau kecil tak berpenghuni yang masuk Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, yang terkenal dengan keindahan alam, pantai, dan bentuk alamiah batu granit yang mempesona. Pulau itu adalah Pulau Burung seluas 12 hektar dengan kebun kelapa dan bukit kecil di tengah pulau. Dinamakan Pulau Burung karena di satu sudut pantai terdapat batu granit setinggi 20 meter yang menyerupai burung.
Di Pulau Lengkuas terdapat mercu suar yang dibangun pada masa Belanda. Perairan di sekitar pulau ini banyak terdapat karang laut yang indah sehingga dijadikan objek menyelam oleh wisatawan. Pulau lainnya adalah Pulau Babi, Pegadaran, Lutung, Kera, Jukung, dan Jenang.
Di Belitung, wisatawan petualang bisa menikmati ombak laut sambil memancing pada malam hari dengan perahu bagan nelayan di Selat Gaspar yang memisahkan Pulau Bangka dengan Belitung. Caranya, bisa ikut nelayan bagan atau menyewa bagan berikut awaknya. Memancing di Selat Gaspar adalah obyek wisata eksklusif yang ditawarkan Belitung. Saat ini penduduk Belitung dan orang Jakarta pada akhir pekan memancing di laut dengan kapal sendiri atau menyewa perahu.
Di Tanjung Pandan terdapat Museum Geologi peninggalan kejayaan PT Timah yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemkab Belitung. Museum yang menyimpan berbagai koleksi bersejarah dan budaya Belitung ini dilengkapi kebun binatang. Di sampingnya ada kolam renang Dayang Seri Pinai sebagai sarana olahraga. Pantai di Belitung yang terkenal adalah Tanjungpendam di Tanjung Pandan. Di pantai ini, setiap Juli dan Agustus dilaksanakan upacara ritual, Buang Jong.
Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan terdiri dari 189 pulau besar dan kecil, antara lain Pulau Belitung, Seliu, Mendanau, Nadu, dan Batu Dinding. Puncak tertinggi di Belitung, Gunung Tajam, 500 meter di atas permukaan laut (dpl).
Sedangkan fauna yang terkenal adalah, pelilean (Tarsius bancanus), lutung (Trachyphitecus), kelelawar putih (Pipistrellus vordermanni), burung ruik (Anthracoceros malayanus), seriwang asia (Tersiphpone paradisi), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), burung tutut (Megalaima rafflesii billitonis), nyatoh (Palaquaium rosratum), serta berbagai jenis kantong semar (Nepenthes SPP).
Terdapat kawasan pantai yang banyak ditumbuhi mangrove, yaitu di Selindang–Kelapa Kampit. Ada pula ekosistem kerangas yang langka, hanya terdapat di sedikit lokasi, satu di antaranya di Belitung. Lantai hutan yang putih pucat dan suhu panas dengan lebih dari satu jenis tumbuhan pemangsa serangga (karnivora), seperti kantong semar yang oleh masyarakat Belitung disebut ketakong atau kemidokan.
Tarian rakyat
Dalam pembukaan Gebyar Wisata Belitung di Gedung Pertemuan Tanjung Pandan, beberapa waktu lalu, ditampilkan tiga tarian yang dikenal luas oleh masyarakat Belitung. Ketiganya adalah, tari Tebas Berebun dari Pangkal Lalang. Tarian yang lincah dan heroik ini ditarikan oleh enam penari laki–laki berusia belasan tahun yang di pinggangnya terselip sebilah golok.
Zapin Kreasi dibawakan enam penari wanita yang elok dari Sanggar Karya Seni Tanjung Pandan. Tari Lesung Panjang ditarikan empat pasang remaja yang lincah dan dinamis. Tiga tarian yang ditampilkan ini sepintas menggambarkan kreativitas seni masyarakat Belitung yang tinggi.
Jadi, persiapkan diri Anda untuk menikmati keindahan Bangka Belitung di liburan tahun ini, semoga bermanfaat. (sumber : dari berbagai sumber)
Sumber:
Ani Nurdwiyanti adalah kontributor swaberita dan dapat dihubungi di ani.nurdwiyanti@swaberita.com
http://www.swaberita.com/2008/04/23/gaya-hidup/travel/berwisata-ke-bangka-belitung.html
23 Maret 2008
Laskar Pelangi Bangkitkan Citra Wisata Belitung Timur
Belitung Timur, Babel - Kebesaran film Laskar Pelangi dan keberhasilan meraih rekor MURI dalam "Minum kopi susu terbanyak diikuti 17.070 Orang" telah membangkitkan citra wisata di Kabupaten Belitung Timur di tingkat nasional bahkan internasional. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Belitung Timur, Dra Gunawati di Manggar, Belitung Timur, Sabtu, mengatakan, kesuksesan film Laskar Pelangi telah memunculkan Kabupaten Belitung Timur ke dalam peta sebagai daerah wisata yang diperhitungkan sehingga momentum ini harus dimanfaatkan optimal.
"Citra Kabupaten Laskar Pelangi (sebutan lain Kabupaten Belitung Timur) cukup luar biasa. Pada saat akan bangkit untuk mendorong kepariwisataan Belitung Timur khususnya dan Bangka Belitung umumnya bersamaan dengan itu ada film Laskar Pelangi meledak di pasaran," kata Gunawati. Ia mengemukakan, pencitraan yang sempat ia perkirakan akan memakan waktu cukup lama justru terjadi dengan cepat dipicu film Laskar Pelangi.
"Namun demikian, sukses film Laskar Pelangi tidak membuat pekerjaan pariwisata kita berhenti sampai di situ saja. Masih ada setumpuk pekerjaan rumah yang perlu menjadi perhatian semua pihak agar pariwisata kita benar-benar berdiri tegak," katanya. Ia menyebutkan, pembenahan itu salah satunya menyangkut akomodasi yang masih belum banyak tersedia. Pekerjaan rumah lainnya adalah Belitung Timur masih butuh waktu untuk mempersiapkan masyarakatnya menjadi tuan rumah pariwisata.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pembenahan pintu gerbang masuk ke daerah Belitung Timur. Pelabuhan laut dengan fasilitas yang memadai masih perlu pembenahan lebih lanjut. Tentang promosi, ia mengakui promosi wisata Belitung Timur masih kurang. Sebab itu, pihaknya akan memanfaatkan sarana apapun untuk promosi yang sifatnya menguntungkan bagi Kabupaten Belitung Timur. "Promosi kita masih kurang. Akomodasi juga masih kurang. Tapi kalau menunggu semua itu siap, kapan kita akan bergerak, kita akan tertinggal. Pariwisata ini terintegrasi dengan semua sektor," katanya.
Soal promosi wisata Belitung Timur yang masih kurang juga diakui beberapa kalangan yang baru tahu tentang Belitung Timur menjadi lokasi wisata dan sebelumnya mereka tidak tahu apapun tentang Belitung Timur. "Begitupun dengan sebuah buku yang menyediakan informasi itu khususnya tentang Indonesia secara umum yang dimiliki oleh Hans dan Fien turis asal Australia. Buku yang mereka beli di Australia tersebut memuat peta Indonesia termasuk Belitung. Akan tetapi di dalam pembahasannya tidak satupun memuat informasi tentang Pulau Belitung. (antara)
Sumber:
http://www.antaranews.com
Kredit Foto: http://foto.duniaanda.com, dalam :
http://melayuonline.com/ind/news/read/9497/laskar-pelangi-bangkitkan-citra-wisata-belitung-timur
7 September 2009
Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (1)
Jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia.
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Latar Belakang
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.
Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.
Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha.
Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel.
Permasalahan
Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula. Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal.
Pemberian ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.
Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara. Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun.
Kerugian Negara Akibat Penyelundupan Timah
Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar.
Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas.
Pemda Bangka Belitung kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah.
Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha. Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar.
Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton.
Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal. Pembeli-pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker. Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kualalumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market.
Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian, kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.
Pendapatan PT Timah
Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun, pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliyun atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4, 076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun meningkat.
Tabel 1. Produksi Timah Indonesia
Sumber: PT Timah Tbk.
Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun. Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat.
Namun di sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela.
Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat.
Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional
Berdasarkan informasi dari US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000 ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu bertahan sekitar 10 - 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190 triliun. Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.
Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti bertambah. Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah.
Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah
Sumber: PT Timah Tbk.
Pada Tabel 2 kita melihat bahwa cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri.
Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional.
Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekpor ke manca negara. Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik. Perbandingan produksi timah Indonesia dengan negara lain dapat dilihat di Grafik 1.
Grafik 1. Produksi Timah Indonesia, China dan Negara-negara lain.
Sumber: www.bhaktisecurities.com
Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan. (bersambung)
foto ilustrasi: metro bangka belitung
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menyelamatkan-kehancuran-pertambangan-timah-bangka-belitung-1.htm
7 Januari 2010
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Latar Belakang
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852.
Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.
Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha.
Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel.
Permasalahan
Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula. Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Hal krusial yang memantik masalah itu muncul karena potensi timah yang berlimpah itu belum diatur secara optimal. Sehingga pendapatan berlimpah dari aktivitas penambangan pada akhirnya belum mampu mendukung bagi terwujudnya kemakmuran rakyatnya. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya penyelundupan timah yang dilakukan melalui aktivitas penambangan illegal.
Pemberian ijin tambang inkonvesional (TI) di Bangka Belitung telah mengurangi pendapatan negara dan daerah akibat terjadinya penyeludupan, serta mengancam terkurasnya ketersediaan cadangan timah di Bangka Belitung. Pemberian izin TI mungkin mendukung usaha pertambangan PT Timah sebagai BUMN dan PT Kobatin, sebab kedua perusahaan tersebut tidak perlu membuka area penambangan baru. Namun, keberadaan TI ini pada akhirnya justru memperburuk ketersediaan logam timah di Bangka Belitung dan membuat rusak lingkungan wilayah Bangka Belitung karena penambangan dilakukan di semua tempat.
Mestinya, pemerintah pusat dan daerah serta BUMN di bidang pertambangan timah berperan lebih besar agar hasil penambangan seluruhnya masuk ke kas negara. Bila kondisi seperti itu terwujud, jumlah produksi timah Indonesia bisa menyamai bahkan melampaui Cina yang mencapai 130.000 ton per tahun. Berdasarkan data tahun 2007, melalui penambangan legal, Indonesia menghasilkan timah sebesar 71.610 ton per tahun. Dari penambangan ilegal, sebanyak 60.000 ton per tahun.
Kerugian Negara Akibat Penyelundupan Timah
Pihak intelijen Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, pada tahun 2006 melaporkan, nilai penyelundupan timah di Bangka Belitung mencapai sekitar Rp 10 miliar per bulan. Penyelundupan timah terjadi berkali-kali dan seolah menjadi suatu kelaziman. Pada akhir 2005, pernah terjadi penyelundupan timah sebanyak 714 karung pasir timah, atau senilai Rp 1 miliar.
Timah yang diselundupkan ke luar wilayah Indonesia, umumnya berasal dari tambang-tambang rakyat (TI). Awalnya, penambang mitra PT Timah masih menjual seluruh hasil tambang timahnya ke PT Timah. Namun, godaan harga yang lebih tinggi dari pembeli lain membuat penjualan timah ke PT Timah menurun. Penambang TI menjadi marak setelah UU Otonomi Daerah disahkan dan Keputusan Menperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tertanggal 22 April 1999 menyatakan timah dikategorikan sebagai barang bebas.
Pemda Bangka Belitung kemudian menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya. Semua peraturan ini untuk melegitimasi pembukaan tambang inkonvensional dengan tujuan mengatrol pendapatan daerah yang mandiri. Terkait hal ini, Juru Bicara PT Timah, Dwi Agus, menyatakan kebijakan otonomi daerah membawa dampak buruk bagi PT Timah.
Sebab, ujar Dwi, muncul saingan usaha. Di sisi lain, pengawasan penuh konsesi terutama di darat tak bisa dilakukan karena juga meliputi daerah-daerah hutan. Dengan demikian, banyak kebocoran di lapangan yang dilakukan mitra. Jika timah diselundupkan ke luar negeri, tentu negara tidak mendapatkan royalti dan pajak, dan pemegang KP ditunggangi penambang. Kerugian lain pemerintah meliputi dana reklamasi dan pungutan lain yang diatur dalam Perda, yang tidak dibayar oleh penambang liar.
Sejak penertiban timah ilegal dilakukan besar-besaran pada bulan Oktober 2006, harga logam timah di pasar dunia terus meningkat. Tercatat harga logam timah di London Metal Exchange (LME) dan Kualalumpur Tin Market berkisar pada level 13.000 dolar/ton, meningkat dari harga sebelumnya sekitar 8.000 dolar/ton. Hal ini karena pasar dunia logam timah terjadi kekurangan pasokan, karena Indonesia (PT Timah Tbk) hanya memasok 5.500 ton/bulan. Sementara negara-negara pemasok logam timah lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tidak mempunyai kemampuan produksi yang besar. Menurut Dirut PT Timah pada tahun 2007, Thobrani Alwi, sebelumnya PT Timah mengekspor hanya 5.500 ton/bulan. Pada Januari 2007, PT Timah hanya mengirim 3.500 ton, sehingga harga meningkat. Namun, stok timah dunia masih banyak sekitar 9.000 hingga 10.000 ton.
Selanjutnya, Indonesia sudah mulai mampu mempengaruhi harga logam timah dunia pasca penertiban timah ilegal. Pembeli-pembeli yang sebelumnya membeli komoditi ini dari Singapura, Malaysia dan Thailand mulai minta pasokan dari PT Timah Tbk. Akan tetapi, saat ini PT Timah mendahulukan customer-customer yang sudah lama bermitra dengan PT Timah. Andai sebelumnya pemain-pemain pertimahan di Indonesia mengikuti aturan, pasti Indonesia sejak dulu bisa menjadi price maker. Diharapkan ke depan, Indonesia dapat memegang harga timah dunia, bila perlu Kualalumpur Tin Market yang menentukan patokan harga timah saat ini, pindah ke Jakarta atau Bangka menjadi Jakarta Tin Market atau Bangka Tin Market.
Sebelumnya, jika kebutuhan timah dunia mencapai 120.000 ton maka 60.000 ton dikeluarkan Malaysia, Indonesia hanya 60.000 ton secara legal. Padahal, 60.000 ton yang dijual oleh Malaysia sebagian besar adalah timah dari Indonesia. Oleh karena itu, ke depan pelaku-pelaku bisnis timah harus dapat mengekspor sesuai peraturan. Dengan harga timah tinggi, pemerintah akan mendapat royalti dan pajak lebih besar. Selain pasokan berkurang di pasar dunia, kenaikan harga juga dipicu oleh konsumsi timah pada industri yang menggunakan bahan dasar timah saat ini semakin meningkat. Kemudian, kalangan industri mulai memerhatikan unsur kesehatan dan lingkungan.
Pendapatan PT Timah
Pendapatan PT Timah pada tahun 2008 adalah Rp. 9,053 Triliyun, pendapatan ini meningkat jika dibandingkan pendapatan tahun 2007, yakni Rp 8, 542 Triliyun atau sekitar 906.932 Juta USD. Sedangkan di tahun 2006, pendapatan PT Timah sekitar Rp. 4, 076 Triliyun. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, tren pendapatan PT Timah memang terus mengalami peningkatan. Artinya royalti dan pajak serta deviden yang diterima negara pun meningkat.
Tabel 1. Produksi Timah Indonesia
Sumber: PT Timah Tbk.
Tabel 1 di atas memperlihatkan produksi timah Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Melalui PT Timah, Indonesia pun memperoleh pendapatan yang terus meningkat. Khusus 2006, 2007, dan 2008 keuntungan bersih PT Timah masing-masing adalah Rp 208 miliar, Rp 1,7 triliun, dan Rp 2 triliun. Dengan peningkatan keuntungan yang begitu besar, ditambah lagi dengan dampak ekonomi dan efek multiplier dari aktivitas pertambangan timah, seharusnya negara mendapat manfaat yang besar dan kesejahteraan rakyat Babel juga meningkat.
Namun di sisi lain, aktivitas penambangan timah ilegal dan penyelundupan timah pun marak terjadi. Transaksi penyelundupan timah tersebut nilainya mencapai Rp 10 miliar per bulan (Kejati Babel, 2006). Dari nilai tersebut, tidak satu rupiah pun masuk menjadi kas negara. Artinya, negara dirugikan Rp 10 Miliar per bulan, ditambah lagi cadangan timah terus menipis akibat aktivitas penambangan ilegal merajalela.
Sementara itu, faktor harga akan selalu mempengaruhi pendapatan PT Timah serta besarnya royalti dan pajak yang masuk sebagai kas negara. Harga tertinggi logam timah dunia selama tahun 2008 adalah US$ 25.500/ton dan terendah adalah US 10.000/ton. Harga rata-rata timah tahun 2008 adalah sebesar US$ 18,512/ton atau meningkat 27 % dari harga rata-rata logam timah dunia tahun 2007 yang sebesar US$ 14,529/ton Menurunnya harga logam timah pada triwulan keempat 2008 terpengaruh oleh arus krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan logam timah. Perkiraan banyak analis, harga timah tahun 2009 akan berada pada kisaran US$ 13.000 per ton, menurun dibandingkan tahun 2008 (Majalah Kontan, 2009). Diharapkan dengan harga yang terus membaik seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia, pendapatan PT Timah juga akan terus meningkat.
Cadangan dan Potensi Ekonomi Timah Nasional
Berdasarkan informasi dari US Geological Survey 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000 ton/tahun, atau setara dengan 90.000 ton/tahun pasir timah, cadangan tersebut akan mampu bertahan sekitar 10 - 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017 – 2019. Pada harga rata-rata US$ 20.000/ton (diasumsikan sebagai harga rata-rata timah selama 8 tahun ke depan), sumber daya timah ini menyimpan potensi ekonomi dengan nilai sekitar US$ 18 miliar atau sekitar Rp 190 triliun. Belum lagi jika multiplier effect dari industri timah ini diperhitungkan maka potensi ekonomi tambang timah Babel menjadi semakin besar untuk dapat berperan meningkatkan PDB, pendapatan negara dan daerah, serta kesejahteraan rakyat, khususnya di Babel.
Ketersediaan timah yang semakin menipis seharusnya diperhitungkan pemerintah pusat, khususnya Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), serta pemerintah daerah setempat. Sebab, industri timah dengan tingkat produksi yang berlangsung 4–5 tahun belakangan ini, berkontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Babel. Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan pasti bertambah. Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah.
Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah
Sumber: PT Timah Tbk.
Pada Tabel 2 kita melihat bahwa cadangan timah Indonesia memang semakin menipis. Oleh sebab itu, seharusnya pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi, menyediakan cadangan nasional masa depan, sekaligus menggunakannya untuk mengendalikan harga. Salah satu yang penting adalah membatasi dan menetapkan batas maksimum atau kuota produksi timah nasional setiap tahun, misalnya 75.000 ton per tahun. Ini perlu dilakukan terutama untuk pengendalian harga dan proteksi kebutuhan jangka panjang dalam negeri.
Pemerintah harus berupaya mengantisipasi habisnya sumber daya timah dengan pengaturan regulasi. Misalnya, jalur ekspor harus dari satu pintu, yakni PT Timah yang telah ditunjuk sebagai BUMN yang menggarap sektor ini, termasuk mengembalikan eksplorasi hanya kepada PT Timah. Kemudian, PT Timah lebih fokus mengatur kuota produksi dan menghadapi persaingan produsen timah dari negara lain di pasar internasional. Penegakan hukum dan penerapan sanksi juga sangat penting untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam industri timah nasional.
Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90% produksinya diekpor ke manca negara. Sedangkan Cina mengonsumsi hampir seluruh produksinya untuk kebutuhan domestik. Perbandingan produksi timah Indonesia dengan negara lain dapat dilihat di Grafik 1.
Grafik 1. Produksi Timah Indonesia, China dan Negara-negara lain.
Sumber: www.bhaktisecurities.com
Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton (US Geological Survey, 2009). Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton Dalam konteks ini, pemerintah belum menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara dan reservasi atau pengamanan cadangan. Penambangan produksi timah dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan. (bersambung)
foto ilustrasi: metro bangka belitung
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menyelamatkan-kehancuran-pertambangan-timah-bangka-belitung-1.htm
7 Januari 2010
Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung (2)
Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33.
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Pemerintah Belum Optimal Kelola Pertambangan Timah
Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.
Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun, hal itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.
Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama dalam bentuk royalti dan pajak.
Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara mendapatkan solusi. Permasalahan tersebut antara lain adalah belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.
Banyak dampak negatif yang timbul akibat kesalahan dan penyelewengan pengelolaan tambang timah. Sekitar 40% produksi timah nasional setiap tahun diseludupkan. Negara kehilangan pendapatan, hanya dari royalty (besarnya 2% harga jual timah), sekitar US$ 9,5 juta per tahun. Belum lagi kerugian akibat penggelapan pajak, yang jumlahnya pasti jauh lebih besar! Sudah bertahun-tahun sejak larangan ekspor biji timah dikeluarkan pada 31 Januari 2002 yang lalu, smelter Singapura – negara yang tidak punya tambang timah – terus memroduksi timah lebih dari 25.000 ton/tahun.
Smelter di Malaysia dan Thailand juga menadah timah seludupan dari Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, hasil tambang timah Malaysia dan Thailand hanya sekitar 3000-5000 ton/tahun. Namun, smelter mereka bisa memproduksi batangan timah 25.000-35.000 ton/tahun. Hal ini terjadi tentu karena adanya penyeludupan dari Babel! Berdasarkan rilis Commodity Research Unit (CRU), sejak tahun 2000-2008 timah Indonesia yang masuk pasar internasional tanpa dilaporkan secara resmi, ilegal/diseludupkan, mencapai 266.000 ton. Jika diasumsikan harga rata-rata timah US 14,000/ton dan kurs US$/Rp = 12.000 maka kehilangan negara dari royalty yang besarnya hanya 2% dari harga jual, sudah mencapai Rp 1 triliun. Apalagi jika kerugian negara dari pajak (minimal 25% harga jual) diperhitungkan, kerugian negara bisa lebih dari Rp 13 triliun! Kerugian ini belum memperhitungkan berbagai kehilangan kesempatan dalam seluruh lingkup kegiatan bisnis industri timah akibat penyeludupan.
Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.
Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 900.000 ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan, atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah terlihat belum optimal mengatur mekanisme penambangan timah.
Hingga 2009, penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik. Bahkan, tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartanto, terdapat 6.507 usaha pengelolaan timah di Bangka dan Belitung. Tercatat 199 pertambangan dilengkapi izin, sedangkan 6.308 usaha lainnya ilegal. Merebaknya penambangan dan pemasaran timah ilegal karena pimpinan daerah, seperti bupati memiliki otoritas memberi izin usaha pertambangan. Lokasi pertambangan PT Timah yang dianggap tidak ekonomis kemudian dialihkan ke kontraktor lokal, yaitu PT Tambang Karya.
Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus, abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih dikuasai pemerintah.
Pihak swasta memiliki kewenangan untuk usaha-usaha pertambangan yang juga memiliki izin smelter, mempunyai kewenangan untuk peleburan dan pemurnian, memiliki izin ekspor dan juga tentu mendapatkan keuntungan. Keuntungan swasta, seratus persen tentu menjadi milik swasta seluruhnya. Dan kepemilikan PT Timah seperti di atas membuat seolah-olah sudah tidak ada bedanya lagi status antara BUMN dengan swasta. Jadi sudah tidak ada sama sekali perlindungan terhadap aset negara.
Negara tidak lagi sepenuhnya melindungi badan usaha yang mewakilinya, pun tidak lagi melindungi aset negara yang dikandung di dalam wilayahnya itu. Sehingga, timah yang naik dari dalam ke atas tanah di Bangka Belitung seolah sudah tidak dimiliki lagi oleh negara. Penguasaan negara dan pengelolaan negara terhadap timah dipertanyakan. Jika negara memang ingin kembali melindungi asetnya, mestinya ekspor balok timah murni tidak dilakukan oleh pengusaha swasta. Balok timah murni merupakan logam dasar, belum merupakan produksi yang dihasilkan melalui industri. Oleh karena itu, ekspor logam dasar itu harus dikendalikan negara melalui BUMN yaitu PT Timah. Selain logam dasar itu, seperti solder dan tin chemical, pemerintah mungkin bisa saja memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengekspornya.
Selain itu, PT Timah sebagai wakil negara harus membuka kesempatan seluas-luasnya di sektor hulu kepada masyarakat dan pengusaha-pengusaha, khususnya di daerah Bangka Belitung untuk memperoleh kesempatan secara terkendali dan berkeadilan. Seperti diketahui, politik penguasaan sumber daya timah di daerah tersebut semakin meluas tanpa mempertimbangkan luas pulau yang hanya sepertiga luas Jawa Barat itu. Padahal, karakter industri timah mempunyai daya rusak tinggi namun pemerintah daerah cenderung mengeluarkan izin baru. Sepanjang tahun 2000 setidaknya 50 ribu hektar kebun lada di provinsi Bangka Belitung berubah menjadi lahan tambang. Akibatnya, sekitar 32 ribu petani di provinsi itu kini beralih profesi menjadi penambang.
Mencermati kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa begitu borosnya lahan industri tambang timah. Kegiatan penambangan timah dilakukan oleh masyarakat biasa dengan modal seadanya sampai pengusaha ataupun investor besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Padahal, sebelum masa reformasi, penambangan timah hanya dapat dilakukan perusahaan besar, yaitu PT Timah Tbk. Mereka memiliki kuasa penambangan (KP) hampir dua pertiga Kepulauan Bangka Belitung.
Ada pula PT Kobatin, perusahaan gabungan Indonesia dan Malaysia, yang memiliki KP seluas 42 ribu hektar di Bangka, sekarang Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Namun sejak reformasi, penambangan tidak hanya dilakukan dua perusahaan besar itu. Kini banyak investor lain, banyak smelter baru yang beroperasi, dan banyak izin KP baru dari pemerintah daerah di luar KP kedua perusahaan besar tadi. Ditambah lagi dengan aktivitas penambangan masyarakat yang tersebar di seluruh Pulau Bangka dan Belitung.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman, terjadi penyalahgunaan kepentingan antara pejabat daerah dan pejabat pusat yang menyebabkan praktik monopoli tambang timah di Bangka Belitung sangat kuat. Penyelewengan ini bisa dilihat dari peraturan daerah yang memberikan kesempatan untuk menambang timah secara terbuka dan Surat Izin Perdagangan Antar Daerah (SIPAD). Pebisnis menggunakan SIPAD ini untuk memuluskan illegal economy. Salah satu bentuk illegal economy adalah penyelundupan timah hasil produksi Bangka ke negara-negara jiran.
Dampaknya, lingkungan rusak sementara pendapatan daerah tak meningkat. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses turut menikmati keuntungan dari penjualan timah, bahkan 46 persen penduduk Bangka belum mendapatkan pelayanan listrik. Akibatnya, banyak terjadi konflik pertambangan.
Kebijakan Tambang Inkonvensional Tak Membawa Kemakmuran
Pengelolaan timah di Bangka Belitung yang selama ini dilakukan PT Timah dan PT Kobatin, telah memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian daerah. Namun pada kurun waktu 1991-1995, harga timah turun drastis yang mengakibatkan bangkrutnya Tin Council dan berdampak pada kebijakan restrukturisasi perusahaan, diantaranya pengurangan karyawan sebanyak 17.000 orang. Kebijakan perusahaan tersebut telah memberikan dampak ekonomi dan sosial masyarakat di Bangka Belitung.
Untuk memenuhi kebutuhan kuota produksi, PT Timah selain melakukan penambangan sendiri, sebagian lagi melalui mitra kerja Tambang Karya (TK) yang masih aktif lebih kurang 40 %. Sedangkan sisanya sudah menghentikan kegiatannya. Hal ini mengakibatkan pasokan bijih timah, termasuk yang ditambang sendiri oleh PT Timah, tidak lagi dapat memenuhi target produksi yang telah ditentukan. PT Timah terancam tidak dapat memenuhi kontrak penjualan dengan para buyers di pasar internasional.
Untuk mengatasi hal tersebut PT Timah mengeluarkan beberapa kebijakan:
1. Mengeluarkan Surat Ijin Produksi (SIP) kepada mitra kerjanya untuk menerima bijih timah serta mengkoordinir kegiatan pendulangan oleh masyarakat.
2. PT Timah mengeluarkan lagi Surat Ijin mengumpulkan pembeli kepada beberapa sub mitra kerjanya untuk bertindak sebagai koordinator pengumpul/pembeli bijih timah hasil pendulangan masyarakat.
3. Setiap mitra kerja PT Tambang Timah diberikan terget minimal bijih timah yang harus dipasok ke PT Tambang Timah per bulan.
Kebijakan ini mengakibatkan munculnya Tambang Inkonvensional (TI). Para mitra PT Timah lebih banyak menampung hasil produksi TI daripada dengan produksi sendiri. Karena banyak mitra kerja yang menampung hasil produksi TI dengan harga yang relatif tinggi, akibatnya memicu makin maraknya usaha penambangan yang dikelola oleh masyarakat (TI).
Pemerintah Daerah Bangka Belitung, dengan kewenangan otonomi yang dimiliki mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang pertambangan umum, membuka kesempatan bagi masyarakat Bangka mengeksploitasi timah ini secara bebas. Dampak kebijakan tersebut menyebabkan tambang inkonvensional semakin marak kemudian memicu penyelundupan. Selain itu, hasil tambang inkonvensional milik rakyat dibeli dengan harga lebih murah sehingga rakyat tetap berada dalam kemiskinan.
Sejumlah smelter atau perusahaan pengolahan bijih timah di Bangka Belitung, menadah timah ilegal dari penambang tanpa izin. Jika penambang tanpa izin marak, tentunya hasil bijih timah yang dihasilkan ada yang menampung yaitu smelter. Logikanya, tidak mungkin pedagang pengumpul lada di pasar yang membeli timah. Bisnis timah ilegal di Babel bagaikan mata rantai saling menguatkan dan menguntungkan. Sehingga sulit memutus mata rantai itu, sepanjang tidak ada komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk aparat kepolisian dan TNI.
Sebagian smelter tentu untung bisa menadah timah ilegal dari hasil tambang inkonvensional (TI) milik rakyat. Sebab mereka membeli dengan harga murah kemudian dijual dengan harga tinggi. Sementara, masyarakat juga tergiur oleh penghasilan timah yang cukup tinggi ketimbang penghasilan lain dari bertani lada, karet, dan sawit. Mereka juga mudah menjual hasil bijih timahnya kepada kolektor lalu dilepas ke smelter. Praktik ini, telah lama terjadi namun penambang ilegal mulai marak sejak 1998 hingga sekarang.
Dampak Kerusakan Lingkungan Pertambangan Timah
Pertambangan timah Bangka Belitung yang dikelola PT Timah telah berkontribusi bagi perekonomian negara, baik menyumbang devisa negara serta menjadi penggerak perekonomian di wilayah Bangka Belitung. Pendapatan PT Timah pada 2007, seperti disebutkan sebelumnya, mencapai Rp. 8, 626 triliun dan pada 2008 mencapai Rp. 9, 053 triliun. Namun, pertambangan timah Bangka Belitung juga telah mengabaikan pengelolaan lingkungan hingga menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.
Dampak kerusakan ekosistem akibat pertambangan timah Bangka Belitung merupakan dampak lingkungan jangka panjang, berupa kolam-kolam bekas tambang, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya vegetasi. Pemulihan dampak kerusakan lingkungan itu bisa jadi membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding keuntungan produkti timah yang telah diperoleh. Dan selama ini, PT Timah, PT Kobatin, atau pun penambang inkonvensional hanya mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya timah.
Perlahan kondisi lingkungan provinsi pemasok 40 persen timah dunia ini mengalami kehancuran. Tambang timah ilegal pun telah membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang kepunahan. Ini disebabkan banyaknya pelanggaran aturan, dalam bentuk penambangan di luar wilayah KP yang telah ditetapkan atau menjual hasil penambangan kepada pihak lain selain kepada pemilik kuasa penambangan (KP).
Akibatnya, tambang timah bisa muncul di daerah aliran sungai atau pun di pantai. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35 kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai limbah. Asosiasi Tambang Timah Rakyat (Astira) Bangka Belitung bersama pemerintah daerah dan kepolisian bekerja sama menertibkan tambang timah ilegal. Saat ini jumlah tambang timah tinggal 6.000-an unit karena ketatnya penertiban. Tahun 2004-2006 tambang timah pernah mencapai 17.000 unit.
Mereka, tak memperhitungkan jasa ekologi yang mampu diberikan ekosistem hutan dan lahan yang tereksploitasi. Keberadaan ekosistem hutan dan ekosistem hutan mangrove misalnya, yang memiliki jasa ekologi seperti pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles), dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics).
Kelestarian fungsi ekosistem hutan seharusnya dipertahankan. Jika tidak, maka keberlanjutan kehidupan mahkluk hidup dan bahkan manusia akan terancam. Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak panjang pada efek rumah kaca yang mengakibatkan bumi semakin panas dan berdampak pada kesehatan manusia. Jika manusia menyadari pentingnya menjaga kelestarian fungsi ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu sendiri.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem hutan memiliki kemampuan suksesi sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/ ecological regulatory (siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/ ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological recovery (menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, proses suksesi hutan dan pertumbuhan sebuah pohon membutuhkan waktu puluhan tahun.
Aktivitas tambang inkonvensional di Bangka Belitung semakin marak berdampak pada kerusakan ekosistem. Sebab, obyek penambangan hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam, yaitu wilayah darat dan laut Bangka. Objek penambangan terutama di dalam ruang lingkup kerja wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran pertambangan warga Bangka, membuat area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Ini menambah permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka.
Beberapa penambang inkonvensional bahkan telah menggunduli area hutan, diantaranya hutan fungsi khusus, hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi atau reklamasi eks tambang timah hingga hutan magrove. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membuka lahan pertambangan timah. Para penambang inkonvensional membuka lahan pertambangan dengan cara membabat, membakar, kemudian menggunduli area hutan, guna kepentingan eksploitasi.
Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles) dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics). Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak pada ketidakseimbangan sistem alam.
Akibatnya, Bangka Belitung mengalami kekeringan ketika musim kemarau, hasil pertanian mereka pun menurun. Apalagi banyak petani yang beralih profesi menjadi penambang sehingga lahan pertanian pun terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan beberapa kawasan tererosi dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi sedimentasi yang tinggi, terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota perairan.
Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya untuk memancing, rekreasi, atau pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan, kolong-kolong bekas galian tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada musim kemarau. Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air (catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi lahan, termasuk lahan pertanian.
Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi. Kekeringan, banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian dari dampak karena penambang tidak melestarikan fungsi hutan lindung.
Akhiri Kerakusan
Kita sebagai bangsa hendaknya merasa prihatin, malu dan sekaligus terhina harga dirinya menyaksikan negara-negara tetangga menadah barang seludupan, mengendalikan harga timah dan melecehkan hukum negara, serta menikmati keuntungan sangat besar dari pencurian kekayaan alam kita. Di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar berpangkal dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor, cukong-cukong dan oknum penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan. Umumnya mereka bermental KKN, manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan.
Keserakahan para eksekutif keuangan dan bank serta pemilik modal merupakan penyebab utama terjadinya krisis keuangan global saat ini. Akibat kerakusan mereka, ratusan juta orang menjadi miskin atau bertambah miskin, puluhan juta orang kehilangan pekerjaan, ribuan perusahaan bangkrut, dunia kehilangan dana sekitar US$ 10 triliun, atau uang yang lenyap di bursa saham mencapai US$ 50 triliun! Daya rusak orang-orang serakah begitu besar sehingga merusak tatanan ekonomi dunia, merugikan keuangan negara dan menyengsarakan demikian banyak orang.
Demikian pula yang terjadi di Babel. Prilaku serakah oknum-oknum investor dan pejabat telah merugikan negara puluhan trilun rupiah, menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, dan bahkan menjadikan negara terhina, tidak berdaulat, tidak punya harga diri di hadapan negara-negara lain. Apakah pemerintah memang sudah tidak berdaya dan akan terus membiarkan semua ini terus berlangsung? Apakah memang kita masih pantas berharap kepada pemerintah? Belajar dari krisis keuangan global yang masih berlangsung saat ini, kita menginginkan pembenahan industri timah secara seksama segera diwujudkan, terutama melalui operasionalisasi UU Minerba No.4/2009 – dalam bentuk sejumlah PP – yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. (bersambung)
foto: jsofian.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menyelamatkan-kehancuran-pertambangan-timah-bangka-belitung-2.htm
8 Januari 2010
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul 'Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat'.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***
Pemerintah Belum Optimal Kelola Pertambangan Timah
Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.
Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun, hal itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.
Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama dalam bentuk royalti dan pajak.
Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara mendapatkan solusi. Permasalahan tersebut antara lain adalah belum optimalnya kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan, dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat.
Banyak dampak negatif yang timbul akibat kesalahan dan penyelewengan pengelolaan tambang timah. Sekitar 40% produksi timah nasional setiap tahun diseludupkan. Negara kehilangan pendapatan, hanya dari royalty (besarnya 2% harga jual timah), sekitar US$ 9,5 juta per tahun. Belum lagi kerugian akibat penggelapan pajak, yang jumlahnya pasti jauh lebih besar! Sudah bertahun-tahun sejak larangan ekspor biji timah dikeluarkan pada 31 Januari 2002 yang lalu, smelter Singapura – negara yang tidak punya tambang timah – terus memroduksi timah lebih dari 25.000 ton/tahun.
Smelter di Malaysia dan Thailand juga menadah timah seludupan dari Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, hasil tambang timah Malaysia dan Thailand hanya sekitar 3000-5000 ton/tahun. Namun, smelter mereka bisa memproduksi batangan timah 25.000-35.000 ton/tahun. Hal ini terjadi tentu karena adanya penyeludupan dari Babel! Berdasarkan rilis Commodity Research Unit (CRU), sejak tahun 2000-2008 timah Indonesia yang masuk pasar internasional tanpa dilaporkan secara resmi, ilegal/diseludupkan, mencapai 266.000 ton. Jika diasumsikan harga rata-rata timah US 14,000/ton dan kurs US$/Rp = 12.000 maka kehilangan negara dari royalty yang besarnya hanya 2% dari harga jual, sudah mencapai Rp 1 triliun. Apalagi jika kerugian negara dari pajak (minimal 25% harga jual) diperhitungkan, kerugian negara bisa lebih dari Rp 13 triliun! Kerugian ini belum memperhitungkan berbagai kehilangan kesempatan dalam seluruh lingkup kegiatan bisnis industri timah akibat penyeludupan.
Seluruh masalah ini saling terkait dan telah berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.
Dengan total cadangan yang terbatas sekitar 900.000 ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan, atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah terlihat belum optimal mengatur mekanisme penambangan timah.
Hingga 2009, penyelundupan timah masih marak terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik. Bahkan, tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartanto, terdapat 6.507 usaha pengelolaan timah di Bangka dan Belitung. Tercatat 199 pertambangan dilengkapi izin, sedangkan 6.308 usaha lainnya ilegal. Merebaknya penambangan dan pemasaran timah ilegal karena pimpinan daerah, seperti bupati memiliki otoritas memberi izin usaha pertambangan. Lokasi pertambangan PT Timah yang dianggap tidak ekonomis kemudian dialihkan ke kontraktor lokal, yaitu PT Tambang Karya.
Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus, abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih dikuasai pemerintah.
Pihak swasta memiliki kewenangan untuk usaha-usaha pertambangan yang juga memiliki izin smelter, mempunyai kewenangan untuk peleburan dan pemurnian, memiliki izin ekspor dan juga tentu mendapatkan keuntungan. Keuntungan swasta, seratus persen tentu menjadi milik swasta seluruhnya. Dan kepemilikan PT Timah seperti di atas membuat seolah-olah sudah tidak ada bedanya lagi status antara BUMN dengan swasta. Jadi sudah tidak ada sama sekali perlindungan terhadap aset negara.
Negara tidak lagi sepenuhnya melindungi badan usaha yang mewakilinya, pun tidak lagi melindungi aset negara yang dikandung di dalam wilayahnya itu. Sehingga, timah yang naik dari dalam ke atas tanah di Bangka Belitung seolah sudah tidak dimiliki lagi oleh negara. Penguasaan negara dan pengelolaan negara terhadap timah dipertanyakan. Jika negara memang ingin kembali melindungi asetnya, mestinya ekspor balok timah murni tidak dilakukan oleh pengusaha swasta. Balok timah murni merupakan logam dasar, belum merupakan produksi yang dihasilkan melalui industri. Oleh karena itu, ekspor logam dasar itu harus dikendalikan negara melalui BUMN yaitu PT Timah. Selain logam dasar itu, seperti solder dan tin chemical, pemerintah mungkin bisa saja memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengekspornya.
Selain itu, PT Timah sebagai wakil negara harus membuka kesempatan seluas-luasnya di sektor hulu kepada masyarakat dan pengusaha-pengusaha, khususnya di daerah Bangka Belitung untuk memperoleh kesempatan secara terkendali dan berkeadilan. Seperti diketahui, politik penguasaan sumber daya timah di daerah tersebut semakin meluas tanpa mempertimbangkan luas pulau yang hanya sepertiga luas Jawa Barat itu. Padahal, karakter industri timah mempunyai daya rusak tinggi namun pemerintah daerah cenderung mengeluarkan izin baru. Sepanjang tahun 2000 setidaknya 50 ribu hektar kebun lada di provinsi Bangka Belitung berubah menjadi lahan tambang. Akibatnya, sekitar 32 ribu petani di provinsi itu kini beralih profesi menjadi penambang.
Mencermati kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa begitu borosnya lahan industri tambang timah. Kegiatan penambangan timah dilakukan oleh masyarakat biasa dengan modal seadanya sampai pengusaha ataupun investor besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Padahal, sebelum masa reformasi, penambangan timah hanya dapat dilakukan perusahaan besar, yaitu PT Timah Tbk. Mereka memiliki kuasa penambangan (KP) hampir dua pertiga Kepulauan Bangka Belitung.
Ada pula PT Kobatin, perusahaan gabungan Indonesia dan Malaysia, yang memiliki KP seluas 42 ribu hektar di Bangka, sekarang Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Namun sejak reformasi, penambangan tidak hanya dilakukan dua perusahaan besar itu. Kini banyak investor lain, banyak smelter baru yang beroperasi, dan banyak izin KP baru dari pemerintah daerah di luar KP kedua perusahaan besar tadi. Ditambah lagi dengan aktivitas penambangan masyarakat yang tersebar di seluruh Pulau Bangka dan Belitung.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Erwiza Erman, terjadi penyalahgunaan kepentingan antara pejabat daerah dan pejabat pusat yang menyebabkan praktik monopoli tambang timah di Bangka Belitung sangat kuat. Penyelewengan ini bisa dilihat dari peraturan daerah yang memberikan kesempatan untuk menambang timah secara terbuka dan Surat Izin Perdagangan Antar Daerah (SIPAD). Pebisnis menggunakan SIPAD ini untuk memuluskan illegal economy. Salah satu bentuk illegal economy adalah penyelundupan timah hasil produksi Bangka ke negara-negara jiran.
Dampaknya, lingkungan rusak sementara pendapatan daerah tak meningkat. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses turut menikmati keuntungan dari penjualan timah, bahkan 46 persen penduduk Bangka belum mendapatkan pelayanan listrik. Akibatnya, banyak terjadi konflik pertambangan.
Kebijakan Tambang Inkonvensional Tak Membawa Kemakmuran
Pengelolaan timah di Bangka Belitung yang selama ini dilakukan PT Timah dan PT Kobatin, telah memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian daerah. Namun pada kurun waktu 1991-1995, harga timah turun drastis yang mengakibatkan bangkrutnya Tin Council dan berdampak pada kebijakan restrukturisasi perusahaan, diantaranya pengurangan karyawan sebanyak 17.000 orang. Kebijakan perusahaan tersebut telah memberikan dampak ekonomi dan sosial masyarakat di Bangka Belitung.
Untuk memenuhi kebutuhan kuota produksi, PT Timah selain melakukan penambangan sendiri, sebagian lagi melalui mitra kerja Tambang Karya (TK) yang masih aktif lebih kurang 40 %. Sedangkan sisanya sudah menghentikan kegiatannya. Hal ini mengakibatkan pasokan bijih timah, termasuk yang ditambang sendiri oleh PT Timah, tidak lagi dapat memenuhi target produksi yang telah ditentukan. PT Timah terancam tidak dapat memenuhi kontrak penjualan dengan para buyers di pasar internasional.
Untuk mengatasi hal tersebut PT Timah mengeluarkan beberapa kebijakan:
1. Mengeluarkan Surat Ijin Produksi (SIP) kepada mitra kerjanya untuk menerima bijih timah serta mengkoordinir kegiatan pendulangan oleh masyarakat.
2. PT Timah mengeluarkan lagi Surat Ijin mengumpulkan pembeli kepada beberapa sub mitra kerjanya untuk bertindak sebagai koordinator pengumpul/pembeli bijih timah hasil pendulangan masyarakat.
3. Setiap mitra kerja PT Tambang Timah diberikan terget minimal bijih timah yang harus dipasok ke PT Tambang Timah per bulan.
Kebijakan ini mengakibatkan munculnya Tambang Inkonvensional (TI). Para mitra PT Timah lebih banyak menampung hasil produksi TI daripada dengan produksi sendiri. Karena banyak mitra kerja yang menampung hasil produksi TI dengan harga yang relatif tinggi, akibatnya memicu makin maraknya usaha penambangan yang dikelola oleh masyarakat (TI).
Pemerintah Daerah Bangka Belitung, dengan kewenangan otonomi yang dimiliki mengeluarkan Perda No. 6 Tahun 2001 tentang pertambangan umum, membuka kesempatan bagi masyarakat Bangka mengeksploitasi timah ini secara bebas. Dampak kebijakan tersebut menyebabkan tambang inkonvensional semakin marak kemudian memicu penyelundupan. Selain itu, hasil tambang inkonvensional milik rakyat dibeli dengan harga lebih murah sehingga rakyat tetap berada dalam kemiskinan.
Sejumlah smelter atau perusahaan pengolahan bijih timah di Bangka Belitung, menadah timah ilegal dari penambang tanpa izin. Jika penambang tanpa izin marak, tentunya hasil bijih timah yang dihasilkan ada yang menampung yaitu smelter. Logikanya, tidak mungkin pedagang pengumpul lada di pasar yang membeli timah. Bisnis timah ilegal di Babel bagaikan mata rantai saling menguatkan dan menguntungkan. Sehingga sulit memutus mata rantai itu, sepanjang tidak ada komitmen pemerintah pusat dan daerah, termasuk aparat kepolisian dan TNI.
Sebagian smelter tentu untung bisa menadah timah ilegal dari hasil tambang inkonvensional (TI) milik rakyat. Sebab mereka membeli dengan harga murah kemudian dijual dengan harga tinggi. Sementara, masyarakat juga tergiur oleh penghasilan timah yang cukup tinggi ketimbang penghasilan lain dari bertani lada, karet, dan sawit. Mereka juga mudah menjual hasil bijih timahnya kepada kolektor lalu dilepas ke smelter. Praktik ini, telah lama terjadi namun penambang ilegal mulai marak sejak 1998 hingga sekarang.
Dampak Kerusakan Lingkungan Pertambangan Timah
Pertambangan timah Bangka Belitung yang dikelola PT Timah telah berkontribusi bagi perekonomian negara, baik menyumbang devisa negara serta menjadi penggerak perekonomian di wilayah Bangka Belitung. Pendapatan PT Timah pada 2007, seperti disebutkan sebelumnya, mencapai Rp. 8, 626 triliun dan pada 2008 mencapai Rp. 9, 053 triliun. Namun, pertambangan timah Bangka Belitung juga telah mengabaikan pengelolaan lingkungan hingga menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.
Dampak kerusakan ekosistem akibat pertambangan timah Bangka Belitung merupakan dampak lingkungan jangka panjang, berupa kolam-kolam bekas tambang, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya vegetasi. Pemulihan dampak kerusakan lingkungan itu bisa jadi membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding keuntungan produkti timah yang telah diperoleh. Dan selama ini, PT Timah, PT Kobatin, atau pun penambang inkonvensional hanya mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya timah.
Perlahan kondisi lingkungan provinsi pemasok 40 persen timah dunia ini mengalami kehancuran. Tambang timah ilegal pun telah membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang kepunahan. Ini disebabkan banyaknya pelanggaran aturan, dalam bentuk penambangan di luar wilayah KP yang telah ditetapkan atau menjual hasil penambangan kepada pihak lain selain kepada pemilik kuasa penambangan (KP).
Akibatnya, tambang timah bisa muncul di daerah aliran sungai atau pun di pantai. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35 kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai limbah. Asosiasi Tambang Timah Rakyat (Astira) Bangka Belitung bersama pemerintah daerah dan kepolisian bekerja sama menertibkan tambang timah ilegal. Saat ini jumlah tambang timah tinggal 6.000-an unit karena ketatnya penertiban. Tahun 2004-2006 tambang timah pernah mencapai 17.000 unit.
Mereka, tak memperhitungkan jasa ekologi yang mampu diberikan ekosistem hutan dan lahan yang tereksploitasi. Keberadaan ekosistem hutan dan ekosistem hutan mangrove misalnya, yang memiliki jasa ekologi seperti pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles), dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics).
Kelestarian fungsi ekosistem hutan seharusnya dipertahankan. Jika tidak, maka keberlanjutan kehidupan mahkluk hidup dan bahkan manusia akan terancam. Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak panjang pada efek rumah kaca yang mengakibatkan bumi semakin panas dan berdampak pada kesehatan manusia. Jika manusia menyadari pentingnya menjaga kelestarian fungsi ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu sendiri.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem hutan memiliki kemampuan suksesi sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/ ecological regulatory (siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/ ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological recovery (menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, proses suksesi hutan dan pertumbuhan sebuah pohon membutuhkan waktu puluhan tahun.
Aktivitas tambang inkonvensional di Bangka Belitung semakin marak berdampak pada kerusakan ekosistem. Sebab, obyek penambangan hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam, yaitu wilayah darat dan laut Bangka. Objek penambangan terutama di dalam ruang lingkup kerja wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran pertambangan warga Bangka, membuat area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Ini menambah permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka.
Beberapa penambang inkonvensional bahkan telah menggunduli area hutan, diantaranya hutan fungsi khusus, hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi atau reklamasi eks tambang timah hingga hutan magrove. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membuka lahan pertambangan timah. Para penambang inkonvensional membuka lahan pertambangan dengan cara membabat, membakar, kemudian menggunduli area hutan, guna kepentingan eksploitasi.
Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles) dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics). Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak pada ketidakseimbangan sistem alam.
Akibatnya, Bangka Belitung mengalami kekeringan ketika musim kemarau, hasil pertanian mereka pun menurun. Apalagi banyak petani yang beralih profesi menjadi penambang sehingga lahan pertanian pun terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan beberapa kawasan tererosi dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi sedimentasi yang tinggi, terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota perairan.
Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya untuk memancing, rekreasi, atau pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan, kolong-kolong bekas galian tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada musim kemarau. Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air (catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi lahan, termasuk lahan pertanian.
Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi. Kekeringan, banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian dari dampak karena penambang tidak melestarikan fungsi hutan lindung.
Akhiri Kerakusan
Kita sebagai bangsa hendaknya merasa prihatin, malu dan sekaligus terhina harga dirinya menyaksikan negara-negara tetangga menadah barang seludupan, mengendalikan harga timah dan melecehkan hukum negara, serta menikmati keuntungan sangat besar dari pencurian kekayaan alam kita. Di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar berpangkal dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor, cukong-cukong dan oknum penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan. Umumnya mereka bermental KKN, manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan dan kekuasaan.
Keserakahan para eksekutif keuangan dan bank serta pemilik modal merupakan penyebab utama terjadinya krisis keuangan global saat ini. Akibat kerakusan mereka, ratusan juta orang menjadi miskin atau bertambah miskin, puluhan juta orang kehilangan pekerjaan, ribuan perusahaan bangkrut, dunia kehilangan dana sekitar US$ 10 triliun, atau uang yang lenyap di bursa saham mencapai US$ 50 triliun! Daya rusak orang-orang serakah begitu besar sehingga merusak tatanan ekonomi dunia, merugikan keuangan negara dan menyengsarakan demikian banyak orang.
Demikian pula yang terjadi di Babel. Prilaku serakah oknum-oknum investor dan pejabat telah merugikan negara puluhan trilun rupiah, menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, dan bahkan menjadikan negara terhina, tidak berdaulat, tidak punya harga diri di hadapan negara-negara lain. Apakah pemerintah memang sudah tidak berdaya dan akan terus membiarkan semua ini terus berlangsung? Apakah memang kita masih pantas berharap kepada pemerintah? Belajar dari krisis keuangan global yang masih berlangsung saat ini, kita menginginkan pembenahan industri timah secara seksama segera diwujudkan, terutama melalui operasionalisasi UU Minerba No.4/2009 – dalam bentuk sejumlah PP – yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. (bersambung)
foto: jsofian.wordpress
*) Tentang Penulis:
Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sumber :
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/menyelamatkan-kehancuran-pertambangan-timah-bangka-belitung-2.htm
8 Januari 2010
Belitung dan Lombok akan Disulap Jadi Bali
Panorama alam Pulau Belitung dan Lombok yang sangat eksotis membuat pemerintah berencana menjadikan kedua lokasi tersebut daerah tujuan wisata Internasional, sebagaimana pulau dewata, Bali. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah akan merintis berbagai fasilitas pendukung seperti perbaikan infrastruktur dan pembukaan rute penerbangan internasional.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik menyebukan bahwa meski butuh waktu panjang untuk mewujudkannya sebagaimana Bali, tapi paling tidak pemerintah sejak sekarang sudah merintisnya. Apalagi Belitung dan Lombok memiliki potensi yang besar. Sebut saja letaknya yang strategis, panoramanya yang indah, sikap masyarakatnya yang ramah, tertib, aman, dan bersahabat.
"Jujur saja saat lihat pemutaran film Laskar Pelangi di Pulau Belitung dan Lombok, saya sampai terkagum-kagum. Karena waktu itu film tersebut disaksikan oleh 25 ribu orang dan semuanya berjalan tertib serta aman. Tidak ada kericuhan,” ujar Jero, Rabu (13/1).
Melihat keramahan dan tertibnya masyarakat itulah, Jero mengaku makin yakin kalau upaya pemerintah menjadikan Belitung dan Lombok seperti Bali bisa tercapai. "Saya sudah pesan ke bupatinya, harus kerja keras dan jangan korupsi. Ini merupakan cita-cita besar dan untuk mencapainya harus butuh pengorbanan besar,” imbuhnya.
Dari segi geografis, dua daerah tersebut memiliki letak strategis. Dari Jakarta ke Lombok dan Belitung hanya sekitar 20 menit, dari Singapura 50 menit, sehingga memudahkan wisatawan lokal maupun mancanegara datang berkunjung.
"Juni mendatang, Garuda Indonesia akan melayani penerbangan Jakarta-Lombok dan Jakarta-Belitung. Di bulan yang sama Garuda juga akan melayani rute Jakarta-Belanda. Dengan masuknya maskapai penerbangan internasional ini (Garuda, red) ada kemungkinan besar, wisman Belanda datang ke Belitung dan Lombok," tandasnya.(esy/jpnn)
Sumber :
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56414
13 Januari 2010
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik menyebukan bahwa meski butuh waktu panjang untuk mewujudkannya sebagaimana Bali, tapi paling tidak pemerintah sejak sekarang sudah merintisnya. Apalagi Belitung dan Lombok memiliki potensi yang besar. Sebut saja letaknya yang strategis, panoramanya yang indah, sikap masyarakatnya yang ramah, tertib, aman, dan bersahabat.
"Jujur saja saat lihat pemutaran film Laskar Pelangi di Pulau Belitung dan Lombok, saya sampai terkagum-kagum. Karena waktu itu film tersebut disaksikan oleh 25 ribu orang dan semuanya berjalan tertib serta aman. Tidak ada kericuhan,” ujar Jero, Rabu (13/1).
Melihat keramahan dan tertibnya masyarakat itulah, Jero mengaku makin yakin kalau upaya pemerintah menjadikan Belitung dan Lombok seperti Bali bisa tercapai. "Saya sudah pesan ke bupatinya, harus kerja keras dan jangan korupsi. Ini merupakan cita-cita besar dan untuk mencapainya harus butuh pengorbanan besar,” imbuhnya.
Dari segi geografis, dua daerah tersebut memiliki letak strategis. Dari Jakarta ke Lombok dan Belitung hanya sekitar 20 menit, dari Singapura 50 menit, sehingga memudahkan wisatawan lokal maupun mancanegara datang berkunjung.
"Juni mendatang, Garuda Indonesia akan melayani penerbangan Jakarta-Lombok dan Jakarta-Belitung. Di bulan yang sama Garuda juga akan melayani rute Jakarta-Belanda. Dengan masuknya maskapai penerbangan internasional ini (Garuda, red) ada kemungkinan besar, wisman Belanda datang ke Belitung dan Lombok," tandasnya.(esy/jpnn)
Sumber :
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56414
13 Januari 2010
Menjadi "Sang Pemimpi" Bersama Anak Belitung
Oleh Wuryanti Puspitasari
"Jelajahi Indonesiamu yang luas, jengkali Afrika yang eksotis, jelajahi Eropa yang megah," demikian seorang guru dalam film "Sang Pemimpi" mengutipkan kata-kata mutiara kepada para muridnya di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Pulau Belitung.
Tak disangka, kata-kata tersebut memacu semangat tiga remaja melayu yang hidup di pedalaman Bangka Belitung pada 1980-an untuk meraih beasiswa pendidikan di luar negeri.
Tiga remaja tersebut adalah Ikal, anak keluarga pekerja rendahan di Perusahaan Negara Timah bersama Arai, sepupunya, dan Jimbron, sahabatnya.
Karena tak ada sekolah menengah di desanya, ketiganya harus merantau ke kota pelabuhan Manggar yang berjarak puluhan kilometer untuk melanjutkan sekolah.
Mereka tumbuh bersama, menjalani berbagai kehidupan masa remaja dengan segala tantangan dan perjuangan hidup serta problematika masa remaja untuk meraih cita-cita dan impian.
Semangat mereka makin memuncak ketika sang guru, dengan kata-kata mutiara tersebut memberikan mereka inspirasi untuk mengejar mimpi meraih pendidikan di Eropa.
Berbagai masalah mereka hadapi dalam proses mengejar mimpi tersebut. Mulai dari soal sekolah dan bertahan hidup hingga masalah cinta.
Ada persoalan cinta Arai pada Zakia Nurmala yang kerap tak diacuhkan, cinta Jimbron pada seorang gadis pemurung pekerja pabrik cincau yang tak pernah tersenyum, dan cinta ikal pada sang ayah yang membawanya pada perasaan bersalah saat nilai-nilai di sekolahnya sempat turun drastis.
Namun rasa bersalah pada sang ayah membuat ia bangkit dan membuat para pemimpi lainnya kembali bersemangat untuk berlari bersama dan mewujudkan cita-cita, harapan, dan cinta.
Satu persatu simpul-simpul kesulitan hidup untuk mencapai mimpi berhasil mereka buka dan selesaikan.
Akhirnya, Ikal dan Arai berhasil diterima untuk melanjutkan pendidikan studi strata satu di Universitas Indonesia. Sementara Jimbron memutuskan untuk tidak berkuliah dan melanjutkan hidup di Pulau Belitung, dengan mimpinya sederhana yakni menikah, punya anak, dan hidup damai.
Namun cerita tidak berhenti di situ, karena film Sang Pemimpi masih melanjutkan cerita tentang proses menuju mimpi anak-anak dari Pulau Belitung tersebut hingga mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana di Eropa.
"Sanggupkah mereka meraih mimpinya?" pertanyaan tersebut akan terjawab dengan indah dalam film Sang Pemimpi.
Dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi pulau terkaya di Indonesia, film yang mengambil latar di era 80-an itu dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran dan kisah perjuangan hidup yang mengharukan untuk menggapai mimpi, keindahan persahabatan dan cinta kasih yang tulus antara anak dan ayah.
Editor: jodhi | Sumber : ANT
Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2009/12/16/00440055/Menjadi..quot.Sang.Pemimpi.quot..Bersama.Anak.Belitung
16 Desember 2009
"Jelajahi Indonesiamu yang luas, jengkali Afrika yang eksotis, jelajahi Eropa yang megah," demikian seorang guru dalam film "Sang Pemimpi" mengutipkan kata-kata mutiara kepada para muridnya di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Pulau Belitung.
Tak disangka, kata-kata tersebut memacu semangat tiga remaja melayu yang hidup di pedalaman Bangka Belitung pada 1980-an untuk meraih beasiswa pendidikan di luar negeri.
Tiga remaja tersebut adalah Ikal, anak keluarga pekerja rendahan di Perusahaan Negara Timah bersama Arai, sepupunya, dan Jimbron, sahabatnya.
Karena tak ada sekolah menengah di desanya, ketiganya harus merantau ke kota pelabuhan Manggar yang berjarak puluhan kilometer untuk melanjutkan sekolah.
Mereka tumbuh bersama, menjalani berbagai kehidupan masa remaja dengan segala tantangan dan perjuangan hidup serta problematika masa remaja untuk meraih cita-cita dan impian.
Semangat mereka makin memuncak ketika sang guru, dengan kata-kata mutiara tersebut memberikan mereka inspirasi untuk mengejar mimpi meraih pendidikan di Eropa.
Berbagai masalah mereka hadapi dalam proses mengejar mimpi tersebut. Mulai dari soal sekolah dan bertahan hidup hingga masalah cinta.
Ada persoalan cinta Arai pada Zakia Nurmala yang kerap tak diacuhkan, cinta Jimbron pada seorang gadis pemurung pekerja pabrik cincau yang tak pernah tersenyum, dan cinta ikal pada sang ayah yang membawanya pada perasaan bersalah saat nilai-nilai di sekolahnya sempat turun drastis.
Namun rasa bersalah pada sang ayah membuat ia bangkit dan membuat para pemimpi lainnya kembali bersemangat untuk berlari bersama dan mewujudkan cita-cita, harapan, dan cinta.
Satu persatu simpul-simpul kesulitan hidup untuk mencapai mimpi berhasil mereka buka dan selesaikan.
Akhirnya, Ikal dan Arai berhasil diterima untuk melanjutkan pendidikan studi strata satu di Universitas Indonesia. Sementara Jimbron memutuskan untuk tidak berkuliah dan melanjutkan hidup di Pulau Belitung, dengan mimpinya sederhana yakni menikah, punya anak, dan hidup damai.
Namun cerita tidak berhenti di situ, karena film Sang Pemimpi masih melanjutkan cerita tentang proses menuju mimpi anak-anak dari Pulau Belitung tersebut hingga mendapatkan beasiswa pendidikan pascasarjana di Eropa.
"Sanggupkah mereka meraih mimpinya?" pertanyaan tersebut akan terjawab dengan indah dalam film Sang Pemimpi.
Dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi pulau terkaya di Indonesia, film yang mengambil latar di era 80-an itu dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran dan kisah perjuangan hidup yang mengharukan untuk menggapai mimpi, keindahan persahabatan dan cinta kasih yang tulus antara anak dan ayah.
Editor: jodhi | Sumber : ANT
Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2009/12/16/00440055/Menjadi..quot.Sang.Pemimpi.quot..Bersama.Anak.Belitung
16 Desember 2009
Pantai Bangka Belitung dan Nasib Nelayan
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Provinsi Bangka Belitung memang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Keunikan pantai-pantai di daerah ini ialah golekan batu-batu granit raksasa yang tersusun berjajar dan bertumpuk secara alami. Batu-batu besar itu adalah batu alami endapan sedimen yang telah berlangsung jutaan tahun lamanya. Bangka Belitung memang terkenal sebagai daerah pertambangan, timah, batu besi, bauksit, bahkan emas dan uranium. Semua bebatuan itu nampaknya terkait dengan berbagai sumber mineral daerah ini. Pantai Tanjung Kelayang di Tanjung Pandan, Pantai Burung Mandi dan Malang Lepau di Manggar tersohor karena kombinasi laut yang membiru, pasir yang memutih dan bebatuan raksasa yang tersusun secara alami. Pantai Parai dan Matras di Sungai Liat juga memiliki keindahan yang serupa. Pantai-pantai indah menawan ini menjadi obyek pariwisata andalan Bangka Belitung.
Tentu keindahan pantai saja belumlah berarti apa-apa sebagai daerah tujuan wisata. Berbagai fasilitas pendukung memang perlu dibangun. Masyarakat dan lingkungan juga harus dididik untuk bersikap ramah kepada setiap wisatawan. Aneka produk budaya, bahkan produk kerajinan khas daerah juga harus dibina dan dikembangkan. Satu hal yang paling menentukan ialah promosi daerah tujuan wisata itu ke mancanegara. Pada hemat saya, pantai-pantai dan kawasan hutan topis yang menghijau di Bangka Belitung patut dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata untuk menyepi sambil menikmati perasaan menyatu dengan alam tropis. Penduduk Bangka Belitung relatif sedikit. Orang dapat menyepi tanpa bersintuhan dengan keramaian di daerah-daerah yang jauh dari kebisingan dan polusi. Hidup menyatu dengan alam, walau hanya sementara, sungguh terasa menyenangkan untuk mengusir lelahnya kehidupan modern yang hingar bingar manusia, mesin dan peralatan teknologi.
Akhir bulan lalu, saya berkunjung ke Bangka dalam rangka Musyawarah Kerja Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bulan Bintang. Saya sendiri lahir di Belitung, pulau di sebelahnya. Saya mengunjungi Pangkal Pinang, yang kini telah berubah menjadi ibu kota provinsi. Saya juga berkunjung ke Sungai Liat dan bermalam di Pantai Parai. Sayapun pergi ke Muntok dan mengunjungi Bukit Menumbing yang bersejarah. Di bukit itu ada pesanggrahan tua yang dibangun Belanda tahun 1927 sebagai tempat istirahat pegawai tinggi perusahaan timah Belanda. Entah apa sebabnya, di tahun 1948-1949, tempat itu dijadikan Belanda sebagai rumah pengasingan bagi Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan sejumlah menteri, termasuk Haji Agus Salim dan Mohamad Roem. Para pemimpin bangsa itu ditawan pasukan Belanda setelah mereka berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi Militer II. Di dalam rumah itu masih ada mobil sedan yang dulu digunakan oleh Presiden Soekarno ketika ditawan, sejumlah dokumen dan foto-foto. Menumbing kini sepi dan nampak kurang terawat. Tempat itu, sesungguhnya adalah bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa kita dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Di samping ke Pangkal Pinang, Sungai Liat dan Muntok, saya sengaja datang ke Tanjung Berikat. Saya ingin mengunjungi sebuah desa, namanya Batu Beriga. Penduduk desa itu berjumlah sekitar 1700 orang, yang sebagian besar berasal dari Pulau Belitung. Ada juga yang berasal dari Pulau Pungok, pulau yang termasuk wilayah adiministrasi Bangka Tengah, tetapi penduduknya menggunakan Bahasa Belitung. Saya datang ke desa itu untuk membantu mereka membangun sebuah masjid, yang juga telah dibantu oleh Gubernur Bangka Belitung, Eko Maulana Ali. Penduduk desa sungguh ramah dan bersahaja. Mata pencarian mereka pada umumnya menangkap ikan. Ketika kami datang, mereka menunggu kami di mesjid lama sambil menyuguhkan makan siang dari hasil laut. Kami makan bersila duduk di lantai dengan makanan yang tersaji menggunakan dulang, gaya khas makan orang Belitung ketika kenduri. Sehabis makan, saya didaulat memberi sambutan menggunakan Bahasa Belitung. Suasana terasa begitu akrab dan santai.
Sehabis makan, kami berjalan kaki melihat pantai Batu Beriga yang indah menawan. Ada setumpuk bebatuan besar yang di dekat pantai yang membentuk sebuah pulau kecil, dan ditumbuhi pepohonan. Pulau kecil itu nampak indah sekali di tengah laut yang membiru. Para nelayan memarkir perahu mereka di sepanjang pantai. Ada sebuah warung tempat orang menjual makanan dan minuman. Pantai itu bersih, sebagaimana lautnyapun bersih. Anak-anak bermain sepanjang pantai, mengingatkan saya kepada masa lalu ketika saya kecil. Penduduk desa itu hidup damai walau nampak bersahaja. Di desa itu adalah sebuah sekolah dasar dan Taman Pengajian al-Qur’an. Kondisi sekolahnya cukup baik. Listrik juga telah lama menerangi desa itu. Jalan yang menghubungkan desa itu dengan ibu kota kabupaten Bangka Tengah, Koba, juga diaspal dengan mulus.
Kehidupan nelayan di desa itu, walau selintas nampak baik kondisinya, namun tetap saja membuat saya khawatir. Sebagai anak yang dibesarkan di pantai, saya tahu betul penderitaan nelayan jika musim angin kencang dan ombak besar. Kebanyakan nelayan kita adalah manusia yang hidup dari hari ke hari. Hari ini melaut hanya cukup untuk makan hari ini. Melaut di masa sekarang sudah jauh ke tengah melebihi batas sepuluh mil. Jarak sejauh itu sudah hampir tak mungkin lagi ditempuh dengan perahu layar. Perahu bermotor – walau menggunakan mesin bekas mobil – adalah pilihannya. Namun harga solar yang mahal membuat modal nelayan untuk melaut makin tinggi. Modal harus keluar dulu, sementara tangkapan belum tentu. Di musim angin kencang dan ombak besar seperti sekarang, nelayan praktis tak dapat melaut. Tak ada pilihan lain, kecuali menunggu angin teduh kembali dan ombak tak lagi mengganas. Kehidupan nelayan memang tergantung kepada kemurahan alam.
Dua minggu yang lalu, saya pulang ke Belitung. Niat hati ingin melaut pergi memancing. Namun apa daya, niat diurungkan ketika melihat laut memutih karena buih, pertanda angin dan gelombang tidak menentu. Nelayanpun hanya duduk-duduk saja di pinggir pantai sambil memperbaiki perahu. Waktu itu memang baru saja usai perayaan Tahun Baru Cina. Orang Belitung percaya bahwa menjelang dan sesudah Tahun Baru Cina, angin pasti bertiup kencang. Dua minggu selepas itu, angin akan normal kembali. Namun kini, sudah lebih dua minggu angin masih tak menentu. Kemarin petang, saya pergi ke Kampung Nelayan di Muara Angke. Saya menemui kawan-kawan di sana, yang saya tahu persis mereka tak melaut. Benar juga. Puluhan perahu motor berjajar-jajar bersandar di dermaga. Buruh nelayan hanya duduk-duduk sambil berkelakar dan bermain dengan anak-anak mereka. Tempat pelelangan ikanpun sepi. Ikan-ikan yang ada di situ adalah stok lama yang sudah membeku. Sebagian malah sudah menyerupai bangkai.
Pagi ini saya membaca beberapa koran Jakarta yang mengisahkan nelayan di Marunda mulai didera kesengsaraan. Sebagian mereka mulai menjadi pemulung, menarik ojek sepeda, bahkan ada yang menjadi pengemis. Sebagian mereka terpaksa meminjam uang kepada tukang ijon dan bahkan rentenir dengan bunga mencekik leher. Orang seakan tak perduli dengan nasib nelayan kita di seluruh tanah air yang kini menderita karena alam yang tak bersahabat. Lebih-lebih nelayan bagan yang menetap di pulau-pulau kecil. Melaut tak dapat, pergi ke daratpun untuk membeli bahan makanan dan obat-obatan bagai orang harus berjibaku melawan badai. Maksud hati membeli beras, namun bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Saya sudah mengalami hidup seperti itu di masa lalu. Hingga kini saya tetap merasakannya. Saya tak hanya berteori tentang kemiskinan nelayan, namun benar-benar mempunyai pengalaman empiris dalam menjalaninya.
Sebab itu, saya tak pernah berhenti berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Pembangunan kelautan haruslah sungguh-sungguh memperhatikan keterkaitan antara kelestarian alam dan dukungan kepada kaum nelayan melalui suatu kebijakan yang intensif dan sungguh-sungguh. Konsumsi dan ekspor merupakan salah satu faktor dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Hasil laut yang diekspor tentu menghasilkan devisa. Namun untuk mengekspor, menangkap ikan dilaut bebas memerlukan modal yang besar dan manajemen yang rapi. Kebanyakan nelayan kita tak mampu melakukannya.Andalan mereka adalah konsumsi dalam negeri yang juga sangat penting artinya bagi kehidupan bangsa kita. Hasil yang dijual di dalam negeri adalah konsumsi yang akan mendorong dampak berganda pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kredit permodalan dengan bunga rendah untuk membeli peralatan dan barang modal dalam pertambakan ikan sangat mutlak diperlukan. Penggalakan koperasi untuk mengatasi keadaan jika musim angin kencang dan gelombang besar tiba, sangatlah penting agar nelayan dapat bertahan ketika mereka tak dapat melaut.
Itulah sekelumit dilema bangsa kita. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan pantai-pantai yang indah, seperti nampak di Bangka Belitung. Laut yang luas terbentang telah memberikan aneka kekayaan. Namun nelayan kita, dan bangsa kita, tetap saja terlilit dalam kemiskinan. Alam sesungguhnya dapat dipelajari agar kita tahu bagaimana memanfaatkannya, termasuk pula agar kita mampu mengantisipasi jika suatu ketika alam menunjukkan tanda-tanda kurang bersahabat. Tuhan menciptakan Adam dengan kemampuan “memberi nama kepada setiap benda”, yang menunjukkan kesanggupan manusia untuk berpikir secara abstrak dan konsepsional. Sebab itulah manusia dijadikan sebagai khalifahNya di muka bumi agar mampu mengelola dan memanfaatkan seluruh isi alam semesta demi kemaslahatannya. Kalau kita masih tak mampu juga, bukanlah salah siapa-siapa, melainkan kesalahan kita sendiri. Tuhan telah memberi segalanya kepada bangsa kita, maka — seperti dikatakan berulang kali di dalam surah Ar-Rahman – “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kalian dustakan” (fabiayyia la i Rabbikuma tukazziban)?
Semoga Allah Ta’ala akan membuka pintu hati dan pikiran kepada bangsa kita, serta memberikan segala kekuatan, agar mampu menyelesaikan problema-problema besar yang kita hadapi bersama.
Wallahu ‘alam bissawwab.
Cetak artikel
Oleh Yusril Ihza Mahendra — February 25th, 2008
Sumber :
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/02/25/penyengat-pulau-seribu-kenangan-2/
25 Februari 2008
Provinsi Bangka Belitung memang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Keunikan pantai-pantai di daerah ini ialah golekan batu-batu granit raksasa yang tersusun berjajar dan bertumpuk secara alami. Batu-batu besar itu adalah batu alami endapan sedimen yang telah berlangsung jutaan tahun lamanya. Bangka Belitung memang terkenal sebagai daerah pertambangan, timah, batu besi, bauksit, bahkan emas dan uranium. Semua bebatuan itu nampaknya terkait dengan berbagai sumber mineral daerah ini. Pantai Tanjung Kelayang di Tanjung Pandan, Pantai Burung Mandi dan Malang Lepau di Manggar tersohor karena kombinasi laut yang membiru, pasir yang memutih dan bebatuan raksasa yang tersusun secara alami. Pantai Parai dan Matras di Sungai Liat juga memiliki keindahan yang serupa. Pantai-pantai indah menawan ini menjadi obyek pariwisata andalan Bangka Belitung.
Tentu keindahan pantai saja belumlah berarti apa-apa sebagai daerah tujuan wisata. Berbagai fasilitas pendukung memang perlu dibangun. Masyarakat dan lingkungan juga harus dididik untuk bersikap ramah kepada setiap wisatawan. Aneka produk budaya, bahkan produk kerajinan khas daerah juga harus dibina dan dikembangkan. Satu hal yang paling menentukan ialah promosi daerah tujuan wisata itu ke mancanegara. Pada hemat saya, pantai-pantai dan kawasan hutan topis yang menghijau di Bangka Belitung patut dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata untuk menyepi sambil menikmati perasaan menyatu dengan alam tropis. Penduduk Bangka Belitung relatif sedikit. Orang dapat menyepi tanpa bersintuhan dengan keramaian di daerah-daerah yang jauh dari kebisingan dan polusi. Hidup menyatu dengan alam, walau hanya sementara, sungguh terasa menyenangkan untuk mengusir lelahnya kehidupan modern yang hingar bingar manusia, mesin dan peralatan teknologi.
Akhir bulan lalu, saya berkunjung ke Bangka dalam rangka Musyawarah Kerja Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bulan Bintang. Saya sendiri lahir di Belitung, pulau di sebelahnya. Saya mengunjungi Pangkal Pinang, yang kini telah berubah menjadi ibu kota provinsi. Saya juga berkunjung ke Sungai Liat dan bermalam di Pantai Parai. Sayapun pergi ke Muntok dan mengunjungi Bukit Menumbing yang bersejarah. Di bukit itu ada pesanggrahan tua yang dibangun Belanda tahun 1927 sebagai tempat istirahat pegawai tinggi perusahaan timah Belanda. Entah apa sebabnya, di tahun 1948-1949, tempat itu dijadikan Belanda sebagai rumah pengasingan bagi Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan sejumlah menteri, termasuk Haji Agus Salim dan Mohamad Roem. Para pemimpin bangsa itu ditawan pasukan Belanda setelah mereka berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi Militer II. Di dalam rumah itu masih ada mobil sedan yang dulu digunakan oleh Presiden Soekarno ketika ditawan, sejumlah dokumen dan foto-foto. Menumbing kini sepi dan nampak kurang terawat. Tempat itu, sesungguhnya adalah bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa kita dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Di samping ke Pangkal Pinang, Sungai Liat dan Muntok, saya sengaja datang ke Tanjung Berikat. Saya ingin mengunjungi sebuah desa, namanya Batu Beriga. Penduduk desa itu berjumlah sekitar 1700 orang, yang sebagian besar berasal dari Pulau Belitung. Ada juga yang berasal dari Pulau Pungok, pulau yang termasuk wilayah adiministrasi Bangka Tengah, tetapi penduduknya menggunakan Bahasa Belitung. Saya datang ke desa itu untuk membantu mereka membangun sebuah masjid, yang juga telah dibantu oleh Gubernur Bangka Belitung, Eko Maulana Ali. Penduduk desa sungguh ramah dan bersahaja. Mata pencarian mereka pada umumnya menangkap ikan. Ketika kami datang, mereka menunggu kami di mesjid lama sambil menyuguhkan makan siang dari hasil laut. Kami makan bersila duduk di lantai dengan makanan yang tersaji menggunakan dulang, gaya khas makan orang Belitung ketika kenduri. Sehabis makan, saya didaulat memberi sambutan menggunakan Bahasa Belitung. Suasana terasa begitu akrab dan santai.
Sehabis makan, kami berjalan kaki melihat pantai Batu Beriga yang indah menawan. Ada setumpuk bebatuan besar yang di dekat pantai yang membentuk sebuah pulau kecil, dan ditumbuhi pepohonan. Pulau kecil itu nampak indah sekali di tengah laut yang membiru. Para nelayan memarkir perahu mereka di sepanjang pantai. Ada sebuah warung tempat orang menjual makanan dan minuman. Pantai itu bersih, sebagaimana lautnyapun bersih. Anak-anak bermain sepanjang pantai, mengingatkan saya kepada masa lalu ketika saya kecil. Penduduk desa itu hidup damai walau nampak bersahaja. Di desa itu adalah sebuah sekolah dasar dan Taman Pengajian al-Qur’an. Kondisi sekolahnya cukup baik. Listrik juga telah lama menerangi desa itu. Jalan yang menghubungkan desa itu dengan ibu kota kabupaten Bangka Tengah, Koba, juga diaspal dengan mulus.
Kehidupan nelayan di desa itu, walau selintas nampak baik kondisinya, namun tetap saja membuat saya khawatir. Sebagai anak yang dibesarkan di pantai, saya tahu betul penderitaan nelayan jika musim angin kencang dan ombak besar. Kebanyakan nelayan kita adalah manusia yang hidup dari hari ke hari. Hari ini melaut hanya cukup untuk makan hari ini. Melaut di masa sekarang sudah jauh ke tengah melebihi batas sepuluh mil. Jarak sejauh itu sudah hampir tak mungkin lagi ditempuh dengan perahu layar. Perahu bermotor – walau menggunakan mesin bekas mobil – adalah pilihannya. Namun harga solar yang mahal membuat modal nelayan untuk melaut makin tinggi. Modal harus keluar dulu, sementara tangkapan belum tentu. Di musim angin kencang dan ombak besar seperti sekarang, nelayan praktis tak dapat melaut. Tak ada pilihan lain, kecuali menunggu angin teduh kembali dan ombak tak lagi mengganas. Kehidupan nelayan memang tergantung kepada kemurahan alam.
Dua minggu yang lalu, saya pulang ke Belitung. Niat hati ingin melaut pergi memancing. Namun apa daya, niat diurungkan ketika melihat laut memutih karena buih, pertanda angin dan gelombang tidak menentu. Nelayanpun hanya duduk-duduk saja di pinggir pantai sambil memperbaiki perahu. Waktu itu memang baru saja usai perayaan Tahun Baru Cina. Orang Belitung percaya bahwa menjelang dan sesudah Tahun Baru Cina, angin pasti bertiup kencang. Dua minggu selepas itu, angin akan normal kembali. Namun kini, sudah lebih dua minggu angin masih tak menentu. Kemarin petang, saya pergi ke Kampung Nelayan di Muara Angke. Saya menemui kawan-kawan di sana, yang saya tahu persis mereka tak melaut. Benar juga. Puluhan perahu motor berjajar-jajar bersandar di dermaga. Buruh nelayan hanya duduk-duduk sambil berkelakar dan bermain dengan anak-anak mereka. Tempat pelelangan ikanpun sepi. Ikan-ikan yang ada di situ adalah stok lama yang sudah membeku. Sebagian malah sudah menyerupai bangkai.
Pagi ini saya membaca beberapa koran Jakarta yang mengisahkan nelayan di Marunda mulai didera kesengsaraan. Sebagian mereka mulai menjadi pemulung, menarik ojek sepeda, bahkan ada yang menjadi pengemis. Sebagian mereka terpaksa meminjam uang kepada tukang ijon dan bahkan rentenir dengan bunga mencekik leher. Orang seakan tak perduli dengan nasib nelayan kita di seluruh tanah air yang kini menderita karena alam yang tak bersahabat. Lebih-lebih nelayan bagan yang menetap di pulau-pulau kecil. Melaut tak dapat, pergi ke daratpun untuk membeli bahan makanan dan obat-obatan bagai orang harus berjibaku melawan badai. Maksud hati membeli beras, namun bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Saya sudah mengalami hidup seperti itu di masa lalu. Hingga kini saya tetap merasakannya. Saya tak hanya berteori tentang kemiskinan nelayan, namun benar-benar mempunyai pengalaman empiris dalam menjalaninya.
Sebab itu, saya tak pernah berhenti berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Pembangunan kelautan haruslah sungguh-sungguh memperhatikan keterkaitan antara kelestarian alam dan dukungan kepada kaum nelayan melalui suatu kebijakan yang intensif dan sungguh-sungguh. Konsumsi dan ekspor merupakan salah satu faktor dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Hasil laut yang diekspor tentu menghasilkan devisa. Namun untuk mengekspor, menangkap ikan dilaut bebas memerlukan modal yang besar dan manajemen yang rapi. Kebanyakan nelayan kita tak mampu melakukannya.Andalan mereka adalah konsumsi dalam negeri yang juga sangat penting artinya bagi kehidupan bangsa kita. Hasil yang dijual di dalam negeri adalah konsumsi yang akan mendorong dampak berganda pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kredit permodalan dengan bunga rendah untuk membeli peralatan dan barang modal dalam pertambakan ikan sangat mutlak diperlukan. Penggalakan koperasi untuk mengatasi keadaan jika musim angin kencang dan gelombang besar tiba, sangatlah penting agar nelayan dapat bertahan ketika mereka tak dapat melaut.
Itulah sekelumit dilema bangsa kita. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan pantai-pantai yang indah, seperti nampak di Bangka Belitung. Laut yang luas terbentang telah memberikan aneka kekayaan. Namun nelayan kita, dan bangsa kita, tetap saja terlilit dalam kemiskinan. Alam sesungguhnya dapat dipelajari agar kita tahu bagaimana memanfaatkannya, termasuk pula agar kita mampu mengantisipasi jika suatu ketika alam menunjukkan tanda-tanda kurang bersahabat. Tuhan menciptakan Adam dengan kemampuan “memberi nama kepada setiap benda”, yang menunjukkan kesanggupan manusia untuk berpikir secara abstrak dan konsepsional. Sebab itulah manusia dijadikan sebagai khalifahNya di muka bumi agar mampu mengelola dan memanfaatkan seluruh isi alam semesta demi kemaslahatannya. Kalau kita masih tak mampu juga, bukanlah salah siapa-siapa, melainkan kesalahan kita sendiri. Tuhan telah memberi segalanya kepada bangsa kita, maka — seperti dikatakan berulang kali di dalam surah Ar-Rahman – “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kalian dustakan” (fabiayyia la i Rabbikuma tukazziban)?
Semoga Allah Ta’ala akan membuka pintu hati dan pikiran kepada bangsa kita, serta memberikan segala kekuatan, agar mampu menyelesaikan problema-problema besar yang kita hadapi bersama.
Wallahu ‘alam bissawwab.
Cetak artikel
Oleh Yusril Ihza Mahendra — February 25th, 2008
Sumber :
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/02/25/penyengat-pulau-seribu-kenangan-2/
25 Februari 2008
Kabupaten Belitung Mengalihkan Diri dari Tambang ke Pariwisata
Belitung – Dalam benak masyarakat bila mendengar Bangka-Belitung selalu sebagai pulau penghasil timah. Kenyataannya, dulu memang penghasil timah terbesar, namun timah semakin sulit didapatkan. Tambang-tambang mulai menutup usahanya dan pabrik timah pun kini tidak begitu banyak jumlahnya di pulau ini. Pendapatan dari daerah tidak bisa lagi hanya bergantung pada produksi timah. Akibatnya kekuatan sektor lain pun mulai ditingkatkan. Selain produksi laut, juga perkebunan, sektor pariwisata pun mulai dilirik sebagai faktor pendukung lainnya.
Belitung yang kini resmi menjadi kabupaten dari Provinsi Babel (Bangka-Belitung). Selain dua pulau besar masih ada 189 pulau kecil yang bertebaran. Ini pun diharapkan oleh pemerintah dan masyarakatnya menjadi pulau pariwisata sebagaimana seluruh Pulau Bali, atau Kepulauan Seribu di DKI, dan Gili Air serta Gili Trawangan di Pulau Lombok. Pesona alam laut Belitung memang indah dan tak kalah dengan lokasi wisata lainnya.
Susuri saja perjalanan di sepanjang pantai Belitung mulai dari Tanjung Binga, Tanjung Kelayang, Tanjung Tinggi hingga Pelabuhan nelayan Lipat Kajang sampai ke pusat kota Manggar. Semua hamparan alam laut dengan pulaunya merupakan gugusan pemandangan yang indah untuk dinikmati.
Di sebelah utaranya Tanjung Pandan, ada mercusuar di pulau yang diketahui bernama Pulau Lengkuas. Di dekat pelabuhan Tanjung Pandan itu juga, di pelabuhannya, kita akan menemukan perahu nelayan bersandar dan merapat sambil mengangkuti hasil ikan yang segar dan besar-besar itu. Kalau Anda jeli, Anda juga akan menemui beberapa perahu yang bersedia untuk mengantar Anda mengunjungi pulau-pulau yang letaknya masih dekat dari pulau itu.
Jangan harap selalu mendapat jawaban dari para nelayan setiap Anda melihat pulau kecil di lautan, terlalu banyak pulau di di Belitung sehingga tak jarang nelayan pun sulit untuk mengidentifikasinya.
Menyusuri laut dengan perahu nelayan yang murah biayanya, kita akan mendapati pulau yang tanahnya melebar dengan pohon bakau yang tak begitu lebat tumbuhnya. Di atasnya, terutama di sore hari, kita akan tertegun menyaksikan rombongan camar yang gagah beterbangan di antara tiupan angin laut. Terkadang, camar itu akan turun di antara pulau.
Dalam perjalanan menyusuri dengan perahu itulah, di puncak Gunung Burung Mandi, sekitar 200 meter dari permukaan laut, akan didapatkan Vihara Dewi Kwan Im yang usianya sekitar 243 tahun lalu. Vihara ini dapat dijadikan tempat beribadah tapi juga rekreasi karena wilayah pantai dan laut di sekitarnya sangat mempesona buat wisata. Dari atas vihara dapat terlihat hamparan hijau Kepulauan Memperak. Dipercayai, vihara ini tepat menghadap langsung ke kuil pusat Tiongkok nun jauh di sana.
Kira-kira 30 meter dari Tanjung Pandan, di Desa Sijuk Tanjung Binga, hanya beberapa meter saja dari pantai, kita akan melihat rombongan ikan yang bertebaran mulai dari ikan tamban juga ikan tembang (famili dari ikan haring) berenang secara berkelompok dengan tubuh yang meliuk-liuk mengkilat bagai pisau. ”Nelayan tak pernah menjaring ikan-ikan kecil itu. Lebih baik kita menarik bagan (sebutan untuk perahu) ke tengah, ikannya lebih besar. Hanya pada saat angin musim yang kencang saja dan kami tak bisa melaut, baru kami menjaring,” ujar seorang nelayan yang berada di sekitar di tempat itu.
Di kecamatan Sijuk ini juga akan ditemui Kuil Pak Kung Miaw yang dipercayai merupakan kuil tertua yang dibangun oleh masyarakat Cina saat pertama kali tiba di Pulau Belitung.
Berjalan lagi menyusuri Tanjung Kelayang, akan tampak hamparan batu-batu besar di pantainya. Batu yang berukuran sampai lima meter ini saling bertumpuk dengan posisi yang unik. Ada batu yang begitu besar diganjal oleh tiga batu yang lebih kecil. Posisi batu kecil ini sangat aneh, seakan diletakkan oleh ”dewa atau raksasa” dari langit, sebelum akhirnya meletakkan batu yang teramat besar di atasnya.
Apalagi bila kita mau menyusuri ”lorong di tumpukan batu itu”, seperti menyusuri labirin bebatuan, kita akan muncul di sisi lain dari Pantai Tanjang Kelayang setelah berjalan dan sesekali melompat di antara batu-batu yang ada. Batu-batu yang membentuk ruangan-ruangan dan lubang, tempat wisatawan tak mampu menahan diri untuk berfoto di antara bebatuan itu. (SH/ sihar ramses simatupang)
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/041/wis01.html
Belitung yang kini resmi menjadi kabupaten dari Provinsi Babel (Bangka-Belitung). Selain dua pulau besar masih ada 189 pulau kecil yang bertebaran. Ini pun diharapkan oleh pemerintah dan masyarakatnya menjadi pulau pariwisata sebagaimana seluruh Pulau Bali, atau Kepulauan Seribu di DKI, dan Gili Air serta Gili Trawangan di Pulau Lombok. Pesona alam laut Belitung memang indah dan tak kalah dengan lokasi wisata lainnya.
Susuri saja perjalanan di sepanjang pantai Belitung mulai dari Tanjung Binga, Tanjung Kelayang, Tanjung Tinggi hingga Pelabuhan nelayan Lipat Kajang sampai ke pusat kota Manggar. Semua hamparan alam laut dengan pulaunya merupakan gugusan pemandangan yang indah untuk dinikmati.
Di sebelah utaranya Tanjung Pandan, ada mercusuar di pulau yang diketahui bernama Pulau Lengkuas. Di dekat pelabuhan Tanjung Pandan itu juga, di pelabuhannya, kita akan menemukan perahu nelayan bersandar dan merapat sambil mengangkuti hasil ikan yang segar dan besar-besar itu. Kalau Anda jeli, Anda juga akan menemui beberapa perahu yang bersedia untuk mengantar Anda mengunjungi pulau-pulau yang letaknya masih dekat dari pulau itu.
Jangan harap selalu mendapat jawaban dari para nelayan setiap Anda melihat pulau kecil di lautan, terlalu banyak pulau di di Belitung sehingga tak jarang nelayan pun sulit untuk mengidentifikasinya.
Menyusuri laut dengan perahu nelayan yang murah biayanya, kita akan mendapati pulau yang tanahnya melebar dengan pohon bakau yang tak begitu lebat tumbuhnya. Di atasnya, terutama di sore hari, kita akan tertegun menyaksikan rombongan camar yang gagah beterbangan di antara tiupan angin laut. Terkadang, camar itu akan turun di antara pulau.
Dalam perjalanan menyusuri dengan perahu itulah, di puncak Gunung Burung Mandi, sekitar 200 meter dari permukaan laut, akan didapatkan Vihara Dewi Kwan Im yang usianya sekitar 243 tahun lalu. Vihara ini dapat dijadikan tempat beribadah tapi juga rekreasi karena wilayah pantai dan laut di sekitarnya sangat mempesona buat wisata. Dari atas vihara dapat terlihat hamparan hijau Kepulauan Memperak. Dipercayai, vihara ini tepat menghadap langsung ke kuil pusat Tiongkok nun jauh di sana.
Kira-kira 30 meter dari Tanjung Pandan, di Desa Sijuk Tanjung Binga, hanya beberapa meter saja dari pantai, kita akan melihat rombongan ikan yang bertebaran mulai dari ikan tamban juga ikan tembang (famili dari ikan haring) berenang secara berkelompok dengan tubuh yang meliuk-liuk mengkilat bagai pisau. ”Nelayan tak pernah menjaring ikan-ikan kecil itu. Lebih baik kita menarik bagan (sebutan untuk perahu) ke tengah, ikannya lebih besar. Hanya pada saat angin musim yang kencang saja dan kami tak bisa melaut, baru kami menjaring,” ujar seorang nelayan yang berada di sekitar di tempat itu.
Di kecamatan Sijuk ini juga akan ditemui Kuil Pak Kung Miaw yang dipercayai merupakan kuil tertua yang dibangun oleh masyarakat Cina saat pertama kali tiba di Pulau Belitung.
Berjalan lagi menyusuri Tanjung Kelayang, akan tampak hamparan batu-batu besar di pantainya. Batu yang berukuran sampai lima meter ini saling bertumpuk dengan posisi yang unik. Ada batu yang begitu besar diganjal oleh tiga batu yang lebih kecil. Posisi batu kecil ini sangat aneh, seakan diletakkan oleh ”dewa atau raksasa” dari langit, sebelum akhirnya meletakkan batu yang teramat besar di atasnya.
Apalagi bila kita mau menyusuri ”lorong di tumpukan batu itu”, seperti menyusuri labirin bebatuan, kita akan muncul di sisi lain dari Pantai Tanjang Kelayang setelah berjalan dan sesekali melompat di antara batu-batu yang ada. Batu-batu yang membentuk ruangan-ruangan dan lubang, tempat wisatawan tak mampu menahan diri untuk berfoto di antara bebatuan itu. (SH/ sihar ramses simatupang)
Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/041/wis01.html
Sejarah Bangka
Sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7. pada masa Kerajaan Sriwijaya pula Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Demikian pula kerajaan Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.
Namun pada masa itu pulau Bangka baru sedikit mendapat perhatian, meskipun letaknya yang strategis ditengah-tengah alur lalu lintas setelah orang-orang daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia dengan ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian dari para bajak laut yang menimbulkan penderitaan bagi penduduknya.
Untuk mengatasi kekacauan yang terjadi, Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang. Setelah melakukan tugasnya dengan baik, juga mengembangkan Agama Islam ditempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Karena merasa turut dirugikan dengan dirampasnya kapal-kapalmya maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut tersebut, kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat disana.
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ketangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, Abdurrachman (1659-1707), dengan sendirinya pulau Bangka menjadi bagian dari Kesultanan Palembang.
Pada tahun 1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707-1715).
Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara formal sudah diangkat juga rakyat menjadi Sultan Palembang.
Tetapi pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.
Kemudian atas dasar Konversi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya ditahun 1803 termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda. Yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan ang sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya, dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Cina bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.
Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusa membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timaha dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah taklluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffless merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang denga gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama "Duke of Island" (20 Mei 1812).
Sumber :
http://www.bangka.go.id/content.php?id_content=Asal_mula
Namun pada masa itu pulau Bangka baru sedikit mendapat perhatian, meskipun letaknya yang strategis ditengah-tengah alur lalu lintas setelah orang-orang daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia dengan ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian dari para bajak laut yang menimbulkan penderitaan bagi penduduknya.
Untuk mengatasi kekacauan yang terjadi, Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang. Setelah melakukan tugasnya dengan baik, juga mengembangkan Agama Islam ditempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.
Karena merasa turut dirugikan dengan dirampasnya kapal-kapalmya maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut tersebut, kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat disana.
Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ketangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, Abdurrachman (1659-1707), dengan sendirinya pulau Bangka menjadi bagian dari Kesultanan Palembang.
Pada tahun 1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707-1715).
Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara formal sudah diangkat juga rakyat menjadi Sultan Palembang.
Tetapi pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.
Kemudian atas dasar Konversi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya ditahun 1803 termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda. Yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan ang sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya, dibawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Cina bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.
Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang johor atas pengalaman mereka di semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Cina untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusa membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timaha dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.
Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, dimana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah taklluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffless merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang denga gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama "Duke of Island" (20 Mei 1812).
Sumber :
http://www.bangka.go.id/content.php?id_content=Asal_mula
Sejarah Belitung
Belitung merupakan kepulauan yang mengalami beberapa pemerintahan raja-raja. Pada akhir abad ke-7, Belitung tercatat sebagai wilayah Kerajaan Sriwijaya, kemudian ketika Kerajaan Majapahit mulai berjaya pada tahun 1365, pulau ini menjadi salah satu benteng pertahanan laut kerajaan tersebut. Baru pada abad ke-15, Belitung mendapat hak-hak pemerintahannya. Tetapi itupun tidak lama, karena ketika Palembang diperintah oleh Cakradiningrat II, pulau ini segera menjadi taklukan Palembang.
Sejak abad ke-15 di Belitung telah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Badau dengan Datuk Mayang Geresik sebagai raja pertama. Pusat pemerintahannya disekitar daerah Pelulusan sekarang ini. Wilayah kekuasaaannya meliputi daerah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, Simpang Tiga, bahkan jauh sampai ke daerah Buding, Manggar dan Gantung. Beberapa peninggalan sejarah yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Badau, berupa tombak berlok 13, keris, pedang, gong, kelinang, dan garu rasul. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat ditemui dilihat di Museum Badau.
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam bernama Kiai Agus Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar Depati Cakraningrat I dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat II (1661-1696), yang memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu daerah yang kemudian dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Kiai Agus Gending yang bergelar Depati Cakraningrat III.
Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini, Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1. Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2. Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3. Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya menurunkan raja-raja yang seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada tahun 1700 Depati Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus Bustam (Depati Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IV ini, agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung.
Gelar Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang ke-9, yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX), karena pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda. Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah 1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan di Tanjungpandan.
Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang merupakan bagian wilayah Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama adalah Datuk Ahmad (1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan rajanya yang terakhir bernama KA. Umar.
Kerajaan keempat atau yang terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan Buding, yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya bernama Datuk Kemiring Wali Raib. Dari keempat kerajaan yang telah disebutkan diatas, Kerajaan Balok merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di Pulau Belitung.
Masa pendudukan Belanda-Jepang
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan merupakan tempat persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang paling berpengaruh adalah pedagangn Cina dan Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari tembikar-tembikar yang berasal dari Wangsa Ming abad ke-14 hingga ke-17, yang banyak ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang timah di daerah Kepenai, Buding dan Kelapa Kampit. Pedagang-pedagang Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung kira-kira tahun 1293. Hal ini berdasarkan catatan dari seorang sejarawan Cina bernama Fei Hsin tahun 1436. Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293, sebuah armada Cina dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Selain bangsa Cina, bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung adalah bangsa Belanda. Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung. Mereka merapat di sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya bandar di Pulau Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau Belitung masuk dalam wilayah kekuasaan Inggris (meskipun secara de facto terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Oleh Residen Inggris di Bangka, diangkat seorang raja siak untuk memerintah Belitung, karena di pulau kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tetua adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Sumber :
http://www.belitungkab.go.id/module.php?id=sejarah1
Sejak abad ke-15 di Belitung telah berdiri sebuah kerajaan yaitu Kerajaan Badau dengan Datuk Mayang Geresik sebagai raja pertama. Pusat pemerintahannya disekitar daerah Pelulusan sekarang ini. Wilayah kekuasaaannya meliputi daerah Badau, Ibul, Bange, Bentaian, Simpang Tiga, bahkan jauh sampai ke daerah Buding, Manggar dan Gantung. Beberapa peninggalan sejarah yang menunjukkan sisa-sisa kerajaan Badau, berupa tombak berlok 13, keris, pedang, gong, kelinang, dan garu rasul. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat ditemui dilihat di Museum Badau.
Kerajaan kedua adalah Kerajaan Balok. Raja pertamanya berasal dari keturunan bangsawaan Jawa dari Kerajaan Mataram Islam bernama Kiai Agus Masud atau Kiai Agus Gedeh Ja'kub, yang bergelar Depati Cakraningrat I dan memerintah dari tahun 1618-1661. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh Kiai Agus Mending atau Depati Cakraningrat II (1661-1696), yang memindahkan pusat kerajaan dari Balok Lama ke suatu daerah yang kemudian dikenal dengan nama Balok Baru. Selanjutnya pemerintahan dipegang oleh Kiai Agus Gending yang bergelar Depati Cakraningrat III.
Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat III ini, Belitung dibagi menjadi 4 Ngabehi, yaitu :
1. Ngabehi Badau dengan gelar Ngabehi Tanah Juda atau Singa Juda;
2. Ngabehi Sijuk dengan gelar Ngabehi Mangsa Juda atau Krama Juda;
3. Ngabehi Buding dengan gelar Ngabehi Istana Juda.
Masing-masing Ngabehi ini pada akhirnya menurunkan raja-raja yang seterusnya lepas dari Kerajaan Balok. Pada tahun 1700 Depati Cakraningrat III wafat lalu digantikan oleh Kiai Agus Bustam (Depati Cakraningrat IV). Pada masa pemerintahan Depati Cakraningrat IV ini, agama Islam mulai tersebar di Pulau Belitung.
Gelar Depati Cakraningrat hanya dipakai sampai dengan raja Balok yang ke-9, yaitu Kiai Agus Mohammad Saleh (bergelar Depati Cakraningrat IX), karena pada tahun 1873 gelar tersebut dihapus oleh Pemerintah Belanda. Keturunan raja Balok selanjutnya yaitu Kiai Agus Endek (memerintah 1879-1890) berpangkat sebagai Kepala Distrik Belitung dan berkedudukan di Tanjungpandan.
Kerajaan ketiga adalah Kerajaan Belantu, yang merupakan bagian wilayah Ngabehi Kerajaan Balok. Rajanya yang pertama adalah Datuk Ahmad (1705-1741), yang bergelar Datuk Mempawah. Sedangkan rajanya yang terakhir bernama KA. Umar.
Kerajaan keempat atau yang terakhir yang pernah berdiri adalah Kerajaan Buding, yang merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Balok. Rajanya bernama Datuk Kemiring Wali Raib. Dari keempat kerajaan yang telah disebutkan diatas, Kerajaan Balok merupakan kerajaan terbesar yang pernah ada di Pulau Belitung.
Masa pendudukan Belanda-Jepang
Pada abad ke-17, Pulau Belitung menjadi jalur perdagangan dan merupakan tempat persinggahan kaum pedagang. Dari sekian banyak pedagang, yang paling berpengaruh adalah pedagangn Cina dan Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari tembikar-tembikar yang berasal dari Wangsa Ming abad ke-14 hingga ke-17, yang banyak ditemukan dalam lapisan-lapisan tambang timah di daerah Kepenai, Buding dan Kelapa Kampit. Pedagang-pedagang Cina tersebut masuk ke Pulau Belitung kira-kira tahun 1293. Hal ini berdasarkan catatan dari seorang sejarawan Cina bernama Fei Hsin tahun 1436. Sedangkan orang Cina mengenal Belitung disebabkan pada tahun 1293, sebuah armada Cina dibawah pimpinan Shi Pi, Ike Mise dan Khau Hsing yang sedang mengadakan perjalanan ke Pulau Jawa terdampar di perairan Belitung.
Selain bangsa Cina, bangsa lain yang banyak mengenal Pulau Belitung adalah bangsa Belanda. Pada tahun 1668, sebuah kapal Belanda bernama 'Zon De Zan Loper', dibawah pimpinan Jan De Marde, tiba di Belitung. Mereka merapat di sungai Balok, yang saat itu merupakan satu-satunya bandar di Pulau Belitung yang ramai dikunjungi pedagang asing
Berdasarkan penyerahan Tuntang pada tanggal 18 September 1821, Pulau Belitung masuk dalam wilayah kekuasaan Inggris (meskipun secara de facto terjadi pada tanggal 20 Mei 1812). Oleh Residen Inggris di Bangka, diangkat seorang raja siak untuk memerintah Belitung, karena di pulau kecil ini sering terjadi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh tetua adat. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Kerajaan Inggris tanggal 17 April 1817, Inggris menyerahkan Belitung kepada Kerajaan Belanda. Selanjutnya atas nama Baginda Ratu Belanda, ditunjuk seorang Asisten Residen untuk menjalankan pemerintahan di Pulau Belitung.
Sumber :
http://www.belitungkab.go.id/module.php?id=sejarah1
Langganan:
Postingan (Atom)