Senin, 18 Januari 2010

Pantai Bangka Belitung dan Nasib Nelayan

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Provinsi Bangka Belitung memang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Keunikan pantai-pantai di daerah ini ialah golekan batu-batu granit raksasa yang tersusun berjajar dan bertumpuk secara alami. Batu-batu besar itu adalah batu alami endapan sedimen yang telah berlangsung jutaan tahun lamanya. Bangka Belitung memang terkenal sebagai daerah pertambangan, timah, batu besi, bauksit, bahkan emas dan uranium. Semua bebatuan itu nampaknya terkait dengan berbagai sumber mineral daerah ini. Pantai Tanjung Kelayang di Tanjung Pandan, Pantai Burung Mandi dan Malang Lepau di Manggar tersohor karena kombinasi laut yang membiru, pasir yang memutih dan bebatuan raksasa yang tersusun secara alami. Pantai Parai dan Matras di Sungai Liat juga memiliki keindahan yang serupa. Pantai-pantai indah menawan ini menjadi obyek pariwisata andalan Bangka Belitung.

Tentu keindahan pantai saja belumlah berarti apa-apa sebagai daerah tujuan wisata. Berbagai fasilitas pendukung memang perlu dibangun. Masyarakat dan lingkungan juga harus dididik untuk bersikap ramah kepada setiap wisatawan. Aneka produk budaya, bahkan produk kerajinan khas daerah juga harus dibina dan dikembangkan. Satu hal yang paling menentukan ialah promosi daerah tujuan wisata itu ke mancanegara. Pada hemat saya, pantai-pantai dan kawasan hutan topis yang menghijau di Bangka Belitung patut dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata untuk menyepi sambil menikmati perasaan menyatu dengan alam tropis. Penduduk Bangka Belitung relatif sedikit. Orang dapat menyepi tanpa bersintuhan dengan keramaian di daerah-daerah yang jauh dari kebisingan dan polusi. Hidup menyatu dengan alam, walau hanya sementara, sungguh terasa menyenangkan untuk mengusir lelahnya kehidupan modern yang hingar bingar manusia, mesin dan peralatan teknologi.

Akhir bulan lalu, saya berkunjung ke Bangka dalam rangka Musyawarah Kerja Dewan Pimpinan Wilayah Partai Bulan Bintang. Saya sendiri lahir di Belitung, pulau di sebelahnya. Saya mengunjungi Pangkal Pinang, yang kini telah berubah menjadi ibu kota provinsi. Saya juga berkunjung ke Sungai Liat dan bermalam di Pantai Parai. Sayapun pergi ke Muntok dan mengunjungi Bukit Menumbing yang bersejarah. Di bukit itu ada pesanggrahan tua yang dibangun Belanda tahun 1927 sebagai tempat istirahat pegawai tinggi perusahaan timah Belanda. Entah apa sebabnya, di tahun 1948-1949, tempat itu dijadikan Belanda sebagai rumah pengasingan bagi Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta dan sejumlah menteri, termasuk Haji Agus Salim dan Mohamad Roem. Para pemimpin bangsa itu ditawan pasukan Belanda setelah mereka berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi Militer II. Di dalam rumah itu masih ada mobil sedan yang dulu digunakan oleh Presiden Soekarno ketika ditawan, sejumlah dokumen dan foto-foto. Menumbing kini sepi dan nampak kurang terawat. Tempat itu, sesungguhnya adalah bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa kita dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan negara.

Di samping ke Pangkal Pinang, Sungai Liat dan Muntok, saya sengaja datang ke Tanjung Berikat. Saya ingin mengunjungi sebuah desa, namanya Batu Beriga. Penduduk desa itu berjumlah sekitar 1700 orang, yang sebagian besar berasal dari Pulau Belitung. Ada juga yang berasal dari Pulau Pungok, pulau yang termasuk wilayah adiministrasi Bangka Tengah, tetapi penduduknya menggunakan Bahasa Belitung. Saya datang ke desa itu untuk membantu mereka membangun sebuah masjid, yang juga telah dibantu oleh Gubernur Bangka Belitung, Eko Maulana Ali. Penduduk desa sungguh ramah dan bersahaja. Mata pencarian mereka pada umumnya menangkap ikan. Ketika kami datang, mereka menunggu kami di mesjid lama sambil menyuguhkan makan siang dari hasil laut. Kami makan bersila duduk di lantai dengan makanan yang tersaji menggunakan dulang, gaya khas makan orang Belitung ketika kenduri. Sehabis makan, saya didaulat memberi sambutan menggunakan Bahasa Belitung. Suasana terasa begitu akrab dan santai.

Sehabis makan, kami berjalan kaki melihat pantai Batu Beriga yang indah menawan. Ada setumpuk bebatuan besar yang di dekat pantai yang membentuk sebuah pulau kecil, dan ditumbuhi pepohonan. Pulau kecil itu nampak indah sekali di tengah laut yang membiru. Para nelayan memarkir perahu mereka di sepanjang pantai. Ada sebuah warung tempat orang menjual makanan dan minuman. Pantai itu bersih, sebagaimana lautnyapun bersih. Anak-anak bermain sepanjang pantai, mengingatkan saya kepada masa lalu ketika saya kecil. Penduduk desa itu hidup damai walau nampak bersahaja. Di desa itu adalah sebuah sekolah dasar dan Taman Pengajian al-Qur’an. Kondisi sekolahnya cukup baik. Listrik juga telah lama menerangi desa itu. Jalan yang menghubungkan desa itu dengan ibu kota kabupaten Bangka Tengah, Koba, juga diaspal dengan mulus.

Kehidupan nelayan di desa itu, walau selintas nampak baik kondisinya, namun tetap saja membuat saya khawatir. Sebagai anak yang dibesarkan di pantai, saya tahu betul penderitaan nelayan jika musim angin kencang dan ombak besar. Kebanyakan nelayan kita adalah manusia yang hidup dari hari ke hari. Hari ini melaut hanya cukup untuk makan hari ini. Melaut di masa sekarang sudah jauh ke tengah melebihi batas sepuluh mil. Jarak sejauh itu sudah hampir tak mungkin lagi ditempuh dengan perahu layar. Perahu bermotor – walau menggunakan mesin bekas mobil – adalah pilihannya. Namun harga solar yang mahal membuat modal nelayan untuk melaut makin tinggi. Modal harus keluar dulu, sementara tangkapan belum tentu. Di musim angin kencang dan ombak besar seperti sekarang, nelayan praktis tak dapat melaut. Tak ada pilihan lain, kecuali menunggu angin teduh kembali dan ombak tak lagi mengganas. Kehidupan nelayan memang tergantung kepada kemurahan alam.

Dua minggu yang lalu, saya pulang ke Belitung. Niat hati ingin melaut pergi memancing. Namun apa daya, niat diurungkan ketika melihat laut memutih karena buih, pertanda angin dan gelombang tidak menentu. Nelayanpun hanya duduk-duduk saja di pinggir pantai sambil memperbaiki perahu. Waktu itu memang baru saja usai perayaan Tahun Baru Cina. Orang Belitung percaya bahwa menjelang dan sesudah Tahun Baru Cina, angin pasti bertiup kencang. Dua minggu selepas itu, angin akan normal kembali. Namun kini, sudah lebih dua minggu angin masih tak menentu. Kemarin petang, saya pergi ke Kampung Nelayan di Muara Angke. Saya menemui kawan-kawan di sana, yang saya tahu persis mereka tak melaut. Benar juga. Puluhan perahu motor berjajar-jajar bersandar di dermaga. Buruh nelayan hanya duduk-duduk sambil berkelakar dan bermain dengan anak-anak mereka. Tempat pelelangan ikanpun sepi. Ikan-ikan yang ada di situ adalah stok lama yang sudah membeku. Sebagian malah sudah menyerupai bangkai.

Pagi ini saya membaca beberapa koran Jakarta yang mengisahkan nelayan di Marunda mulai didera kesengsaraan. Sebagian mereka mulai menjadi pemulung, menarik ojek sepeda, bahkan ada yang menjadi pengemis. Sebagian mereka terpaksa meminjam uang kepada tukang ijon dan bahkan rentenir dengan bunga mencekik leher. Orang seakan tak perduli dengan nasib nelayan kita di seluruh tanah air yang kini menderita karena alam yang tak bersahabat. Lebih-lebih nelayan bagan yang menetap di pulau-pulau kecil. Melaut tak dapat, pergi ke daratpun untuk membeli bahan makanan dan obat-obatan bagai orang harus berjibaku melawan badai. Maksud hati membeli beras, namun bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Saya sudah mengalami hidup seperti itu di masa lalu. Hingga kini saya tetap merasakannya. Saya tak hanya berteori tentang kemiskinan nelayan, namun benar-benar mempunyai pengalaman empiris dalam menjalaninya.

Sebab itu, saya tak pernah berhenti berpikir bagaimana meningkatkan kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Pembangunan kelautan haruslah sungguh-sungguh memperhatikan keterkaitan antara kelestarian alam dan dukungan kepada kaum nelayan melalui suatu kebijakan yang intensif dan sungguh-sungguh. Konsumsi dan ekspor merupakan salah satu faktor dalam memicu pertumbuhan ekonomi. Hasil laut yang diekspor tentu menghasilkan devisa. Namun untuk mengekspor, menangkap ikan dilaut bebas memerlukan modal yang besar dan manajemen yang rapi. Kebanyakan nelayan kita tak mampu melakukannya.Andalan mereka adalah konsumsi dalam negeri yang juga sangat penting artinya bagi kehidupan bangsa kita. Hasil yang dijual di dalam negeri adalah konsumsi yang akan mendorong dampak berganda pertumbuhan ekonomi. Untuk itu kredit permodalan dengan bunga rendah untuk membeli peralatan dan barang modal dalam pertambakan ikan sangat mutlak diperlukan. Penggalakan koperasi untuk mengatasi keadaan jika musim angin kencang dan gelombang besar tiba, sangatlah penting agar nelayan dapat bertahan ketika mereka tak dapat melaut.

Itulah sekelumit dilema bangsa kita. Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptakan pantai-pantai yang indah, seperti nampak di Bangka Belitung. Laut yang luas terbentang telah memberikan aneka kekayaan. Namun nelayan kita, dan bangsa kita, tetap saja terlilit dalam kemiskinan. Alam sesungguhnya dapat dipelajari agar kita tahu bagaimana memanfaatkannya, termasuk pula agar kita mampu mengantisipasi jika suatu ketika alam menunjukkan tanda-tanda kurang bersahabat. Tuhan menciptakan Adam dengan kemampuan “memberi nama kepada setiap benda”, yang menunjukkan kesanggupan manusia untuk berpikir secara abstrak dan konsepsional. Sebab itulah manusia dijadikan sebagai khalifahNya di muka bumi agar mampu mengelola dan memanfaatkan seluruh isi alam semesta demi kemaslahatannya. Kalau kita masih tak mampu juga, bukanlah salah siapa-siapa, melainkan kesalahan kita sendiri. Tuhan telah memberi segalanya kepada bangsa kita, maka — seperti dikatakan berulang kali di dalam surah Ar-Rahman – “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang akan kalian dustakan” (fabiayyia la i Rabbikuma tukazziban)?

Semoga Allah Ta’ala akan membuka pintu hati dan pikiran kepada bangsa kita, serta memberikan segala kekuatan, agar mampu menyelesaikan problema-problema besar yang kita hadapi bersama.

Wallahu ‘alam bissawwab.

Cetak artikel
Oleh Yusril Ihza Mahendra — February 25th, 2008


Sumber :
http://yusril.ihzamahendra.com/2008/02/25/penyengat-pulau-seribu-kenangan-2/
25 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar